Proses Naturalisasi dalam Sejarah Filsafat Kristen-Eropa Abad Pertengahan

Sejarah persinggungan antara peradaban Islam dan Kristen Eropa abad pertengahan merupakan fenomena yang menarik untuk dipelajari. Menarik karena pada periode inilah terjadi pertukaran ilmu yang intens antara keduanya. Abduh Farraj menyebutkan beberapa peristiwa penting yang menjadi titik temu dan pengaruh peradaban Islam dan Barat diantaranya:
  1. Perang salib. Perang ini merupakan faktor utama gagalnya Gereja untuk mengungkung pemikiran masyarakat Eropa dalam ranah keagamaan. Pasalnya, berkat perang ini pandangan masyarakat Eropa menjadi terbuka setelah melihat peradaban lain (baca: Islam) yang lebih maju, terutama dalam ilmu pengetahuan dan filsafat.
  2. Gerakan terjemah dari Arab ke latin. Eropa mulai menerjemahkan buku—buku sains dan filsafat sejak akhir abad ke-11 hingga abad ke-13. Tepatnya setelah gairah umat Islam untuk menggelutinya mengalami pasang surut.
  3. Pendirian sekolah dan universitas. Peradaban Islam yang mendorong pengetahuan telah memancing minat Eropa terhadap pengetahuan. Gerakan filsafat di Eropa memulai tahapan baru setelah didirikannya sekolah dan universitas di luar gereja per abad ke-10. Gerakan ini dimulai sejak zaman Charlemagne (887). Universitas-universitas pertama dibangun di Eropa terletak di Italia, seperti di kota Bologna dan Milan. Walaupun masih kental dengan pengaruh Gereja, tapi sekolah di Bologna mulai mengajarkan penggunaan logika dengan detail. Pada abad ke-13 lahir universitas-universitas terkenal seperti universitas Toulousse (1229), Cambridge, Valladollid, Valencia (1209), dan Napoli (1244).

Jauh sebelumnya, penerjemahan buku-buku asing lintas disiplin ke dalam bahasa Arab sudah dilakukan sejak pemerintahan dinasti Umawiyah. Dengan pondasi keilmuan yang kuat, kaum muslim berhasil memanfaatkan karya-karya asing tersebut dan—bersamaan dengan persinggungannya dengan peradaban Kristen-Eropa—ilmu-ilmu tersebut diserap kembali oleh masyarakat Eropa.

Di antara sumbangan dunia Islam terhadap kebangkitan Eropa yang paling kentara meliputi bidang metodologi riset (metode induksi), geografi, astronomi, kedokteran, kimia dan filsafat. Tapi tidak semua gagasan, teori dan penemuan tersebut diserap mentah-mentah oleh umat Kristen-Eropa waktu itu. Temuan-temuan ulama muslim dalam bidang kedokteran dan optik misalnya, relatif dapat diterima daripada gagasan para filsuf muslim dalam bidang teologi lantaran berbenturan dengan konsep teologi Kristen. Buktinya buku Ibnu Sina “al-Qânûn fi al-Thibb” diterjemahkan pada abad ke-12 dan menjadi rujukan di sekolah kedokteran di Eropa hingga abad ke-17. Begitu pula buku “Tarkîb al-Kîmîyâ’” karya Jabir bin Hayyan.

Berbeda halnya dengan filsafat. Ide-ide para filsuf muslim diadopsi ke Eropa memang mendorong tumbuhnya pola berpikir rasional, terutama Ibnu Rusyd. Kuatnya pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd bahkan menimbulkan golongan yang dinamakan Averroisme (al-Rusydiyyah). Walaupun pada periode selanjutnya, gagasan-gagasan yang diusung Averroisme tidak selalu mencerminkan pendapat Ibnu Rusyd, tapi pengaruh Ibnu Rusyd masih sangat kental. Dalam menanggapi filsafat Ibnu Rusyd, para pendeta dan filsuf Kristen tidak serta-merta menerimanya. Ada bagian-bagian tertentu yang ditolak dan dimodifikasi.

Jika ditilik dari sisi sejarah, filsafat Aristoteles sebenarnya lebih dahulu dikenal masyarakat Kristen Eropa daripada filsafat Ibnu Rusyd. Namun yang mereka kenal baru ilmu logika [manthiq]. Karena yang terjemahan yang dilakukan oleh Boece pada abad keenam masehi baru terbatas pada buku-buku logika.

Beberapa abad kemudian, tepatnya pada akhir abad keduabelas, Eropa kembali memalingkan perhatiannya kepada filsafat Aristoteles. Namun kali ini, filsafat tersebut tidak disambut dengan hangat. Karena pada pandangan Aristoteles mengenai alam dan metafisika mengandung beberapa poin yang bertentangan dengan Bibel dan pendapat Gereja. Sampai abad keduabelas, Gereja menganut pandangan St. Agustinus dalam masalah epistemologis. Sebabnya, St. Agustinus dianggap dapat “mendamaikan” antara dogma Kristiani dan rasionalitas filsafat.

Diantara ide yang diusung St. Agustinus adalah “aku beriman untuk berpikir” (Credo ut intelligas). Dengan kata lain, dalam usahanya untuk memasukkan unsur teologis Kristen dalam epistemologi, St. Agustinus mendahulukan iman daripada akal. Artinya, akal baru difungsikan setelah iman untuk memahami apa yang ia imani. Kedudukan iman lebih tinggi dari akal, dan konsekuensinya, apa yang dihasilkan akal tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh iman (baik melalui Bibel ataupun Gereja).

Sekilas pendapat Agustine berhasil memadukan antara akal dan iman, tapi sebenarnya iman yang dimaksud oleh Agustine masih bersifat dogmatis. Karena iman tersebut tidak dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang bersifat logis. Tapi berkat ini pula, konsep-konsep dasar dalam Kristen seperti trinitas dan penebusan dosa dapat “diamankan” dari jangkauan akal. Tak heran apabila kemudian konsep ini dipertahankan Gereja hingga sekitar delapan abad.

Filsafat Aristoteles kembali ke dunia Kristen Eropa melalui para filosof muslim seperti Ibnu Rusyd, al-Kindi. Buku-buku Aristoteles diterjemahkan dan dikomentari oleh Ibnu Rusyd. Namun filsafat dan terjemahan Ibnu Rusyd tidak diterima begitu saja di kalangan Kristiani. Thomas Aquinas memandang hasil terjemahan dan penjelasan Ibnu Rusyd terhadap karya-karya Aristoteles berbahaya bagi keyakinan Kristen (mis. Konsep qidam al-‘âlam). Thomas Aquinas bahkan menulis satu buku khusus yang mengkritik Averroisme.

Pendapat Ibnu Rusyd tentang qidamnya alam tidak saja mendapat tentangan dari dunia Islam, tapi juga dari para pendeta Kristen. Masalahnya dalam Bibel juga dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan alam dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Penolakan terhadap konsep qidam alam bukan barang baru dalam sejarah teologi Kristen. Jauh sebelumnya pada abad kelima masehi, St. Agustinus sudah menolak konsep alam Aristoteles yang mengatakan bahwa materi itu ada bersamaan dengan Tuhan. Alasannya, konsep tersebut dibangun atas pembagian Aristoteles terhadap wujud kepada dua bagian, materi (matter) dan bentuk (form). Dalam pembacaan Fuad al-Ahwani, konsep tersebut diambil Aristoteles dari kegiatan para pemahat Yunani. Mereka mempunyai gambaran (form) tentang apa yang akan mereka pahat dalam pikiran mereka, sebelum akhirnya diwujudkan dengan memahat kayu atau batu (atau dalam konsep alam tadi disebut dengan matter). Hal ini berarti materi punya eksistensi tersendiri yang independen dari sang kreator. Jadi konsep ini sama sekali berseberangan dengan teks Bibel.

Yang perlu diperhatikan dalam penolakan di atas adalah dalam menghadapi tantangan filsafat di masanya, Kristen berusaha untuk menyerap unsur-unsur filsafat dari Yunani sembari memodifikasinya agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Bibel. Dimulai dari kritik St. Agustinus terhadap konsep alam Aristoteles, hingga penolakan Thomas Aquinas terhadap Averroisme.

Kegagalan Kristen dalam naturalisasi filsafat Yunani mengakibatkan dogma kristen berhadap-hadapan dengan akal secara diametral. Konsekuensinya, umat Kristen kemudian dihadapkan pada dua opsi yang saling bertolakbelakang, agama atau ilmu, bibel atau akal. Walaupun belakangan, ditempuh jalan keluar berupa pemisahan agama dari unsur-unsur keduniaan (mis. sains, ilmu, politik, ekonomi) dan penyingkiran agama dari ruang publik (sekularisasi).

Akhirnya, proses naturalisasi atau penyesuaian unsur-unsur yang diserap dari peradaban lain merupakan mekanisme yang wajar dan lumrah bagi setiap peradaban untuk mempertahankan identitasnya. Tak terkecuali peradaban Islam sekarang di tengah hegemoni pandangan hidup barat yang dihembuskan lewat globalisasi. Wallahu a’lam bishshawab.