Psikologi Bukan Alat Pembenaran

Manusia [eh, kita :D] merupakan makhluk yang menarik. Berbeda dengan alam sekitarnya, ia merupakan fenomena yang lebih kompleks dan rumit. Ketepatan hitungan matematis tak berlaku ketika membahasnya. Apalagi manusia memiliki jiwa atau ruh, sedang dalam al-Quran telah disebutkan "Dan mereka menanyaimu [Muhammad] tentang ruh, katakanlah: 'Ruh adalah [termasuk] urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit." [al-Isra:85] Tak heran apabila kemudian jiwa menjadi misteri yang memantik rasa penasaran saya.

Dalam psikologi, setiap orang punya alur motivasi masing-masing, tak terkecuali para kriminal. Di cerita Batman, misalnya, Ra's al-Ghul memandang bahwa kota Gotham sudah rusak, pembesarnya korup dan kejahatan merajalela [hmm, this outlook sounds familiar]. Karena itu, ia ingin menghancurkan Gotham. [duh -__-]

Motif Ra's al-Ghul sangat mungkin dipahami melalui sudut pandang kejiwaan. Walaupun harus diakui, secara logis pun motif Ra's al-Ghul memiliki kelemahan [generalisasi]. Tapi topik pembicaraan kali ini bukan antara benar-salah [logika] dan baik-buruk [moral], melainkan alur motif dan perbuatan Ra's al-Ghul itu sendiri. Dengan kata lain terdapat garis yang membedakan antara psikologi, logika, dan moral.

Namun bagaimana lebih jelasnya?

Di sini saya mencoba untuk meraba ciri dasar psikologi. Sebagaimana sains pada umumnya, psikologi mencoba untuk menjelaskan fenomena perilaku manusia dalam tataran hubungan antara sebab dan akibat [cause and effect].

Selain itu, sebagai salah satu cabang ilmu humaniora atau antropologi, psikologi mempelajari fenomena manusia apa adanya, mendekatinya sebagai das sein [peristiwa kongkrit/apa adanya], bukan das sollen [norma/sesuatu yang seharusnya].

Dari paragraf di atas, kita bisa pahami bahwa psikologi itu sendiri tidak mengandung dimensi aksiologis. Ia menggambarkan pola perilaku manusia. Namun ia tak memberitahu kita bagaimana perilaku manusia yang ideal. Ia tak mencontohkan bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap dalam hidupnya, berikut keterkaitannya dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Karena itu, dalam prakteknya, antara penggunaan temuan psikologi dan standar ideal moralitas tak seharusnya dipisah.

Jadi, walaupun motif perbuatan seseorang bisa dipahami dalam kerangka psikologis, tapi baik-buruk dan benar-salahnya ditimbang melalui neraca yang berbeda. Bisa jadi bahasan tersebut berkaitan dengan aspek ontologi dan aksiologi filsafat, atau alternatifnya, yaitu agama.

Selanjutnya, topik ini dapat dikaitkan dengan posisi agama [dalam hal ini Islam], setidaknya dari dua hal: pertama, bahwa Islam telah menetapkan standar moralitas yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Hal ini sesuai dengan fungsi al-Quran sendiri sebagai petunjuk [al-hudâ]; kedua, melalui gagasan Islamisasi pengetahuan yang diusung oleh al-Attas, berangkat dari keterpisahan [dikotomi] antara ilmu dan nilai yang terjadi karena perkembangan ilmu dalam lingkungan sekuler.

Sepertinya akan lebih asyik kalau masing-masing poin tersebut dibahas di tulisan tersendiri, heu. Sementara itu, barangkali pembaca punya kritik atau tambahan buat saya.

Terima kasih :)