Menantang Asumsi

"Asumsi adalah jendela dunia Anda.
Sesekali bersihkanlah jendela tersebut,
atau cahaya tak akan dapat masuk."
[Your assumptions are your windows on the world.
Scrub them off every once in a while,
or the light won't come in.]
― Isaac Asimov

Kutipan di atas mengingatkan saya akan satu istilah yang digunakan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya yang tersohor, The Seven Habits of Highly Effective People. Istilah tersebut adalah paradigma. Oleh KBBI, paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir. Untuk lebih jelasnya, Covey mengandaikan paradigma sebagai sebuah peta. Peta adalah model tiruan dari keadaan lapangan yang sesungguhnya. Bedanya, paradigma merupakan gambaran mental; gambaran yang terbentuk dalam pikiran kita, akan kehidupan yang kita jalani.

Sebagaimana sebuah peta, paradigma juga rentan terhadap pertanyaan kritis, seperti: Apakah paradigma tersebut telah sesuai dengan situasi yang sebenarnya?

Paradigma, cara pandang kita terhadap dunia, tersusun dari kesimpulan atas informasi-informasi yang kita terima dari dunia luar. Kesimpulan tersebut kemudian kita jadikan pijakan untuk berpikir dan menyikapi sesuatu. Masalahnya, banyak kesimpulan yang—tanpa kita sadari—kita terima begitu saja. Padahal ia baru merupakan dugaan, bukan sesuatu yang telah pasti kebenarannya. Kesimpulan itulah yang disebut dengan asumsi (KBBI daring: dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berpikir karena dianggap benar).

Istilah lain yang berdekatan dengan asumsi adalah aksioma. Menurut KBBI daring (lagi :P), aksioma adalah pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Hal-hal yang bersifat aksiomatis [badîhiyyât] memang diterima kebenarannya dan dapat digunakan sebagai landasan berpikir serta menarik kesimpulan. Tapi masalahnya, apakah dasar yang kita gunakan dalam berpikir, memandang peristiwa yang terjadi di sekitar kita, atau menyikapi sesuatu, selalu merupakan aksioma?

Dalam proses berpikir manusia, dikenal dua macam sifat pengetahuan: badihy (aksiomatik), yaitu pengetahuan yang dicapai tanpa melalui proses penalaran; dan nazhary (teoritik), yaitu pengetahuan yang dicapai melalui proses penalaran.

Kesimpulan yang dicapai melalui penalaran paling tidak masuk dalam satu dari lima kategori: Pertama, ‘ilm, atau keyakinan yang tegas, sesuai dengan kenyataan dan mempunyai landasan yang kuat; kedua, zhann, atau keyakinan yang cenderung kuat terhadap salah satu kemungkinan yang mendekati kenyataan, tapi belum mencapai derajat yaqîn; ketiga, syakk, keyakinan yang berimbang antar kemungkinan benar-salah; keempat, wahm, lawan zhann atau keyakinan yang lemah terhadap sebuah kemungkinan; kelima, jahl, yaitu pengetahuan yang jazim akan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan [jahl murakkab]. Adapun ketiadaan pengetahuan [jahl basîth] tidak masuk dalam kategorisasi ini karena ia merupakan ketiadaan (ilmu) mutlak [bersifat ‘adamiyyah, nihil], sedang ketiadaan tak dapat dikelompokkan layaknya sifat yang wujud.

Tiga kriteria yang menjadi syarat kategori ‘ilm tadi dapat diubah menjadi pertanyaan dasar untuk menguji kembali asumsi kita.
Apakah kesimpulan tersebut punya landasan yang kuat?
Apakah kesimpulan tersebut sesuai dengan kenyataan?
Apakah kesimpulan tersebut kita yakini dengan tegas?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak musti selalu diterapkan pada pernyataan-pernyataan abstrak, tapi juga terhadap peristiwa yang kita temui dalam keseharian.

Sebut saja, misalnya kita temui seorang teman yang selalu online di Facebook, padahal sudah dekat waktu ujian. Bagaimana penilaian kita akan peristiwa tersebut? Bagaimana kesimpulan kita akan perbuatan teman kita tadi? Apa yang akan kita lakukan sebagai teman yang peduli?

Atau kasus lain yang lebih dilematis: orang asing yang kita temui di tengah jalan, tiba-tiba sambil menunjukkan selembar resep dokter, ia mengaku kekurangan biaya untuk membeli obat dan memohon uluran tangan kita. Haruskah kita termakan bualan penipu tersebut? Ataukah kita harus mempercayai sosok malang tadi?

Namun bagaimanapun juga harus diakui, tidak semua peristiwa dapat diketahui dengan pasti penyebab atau kadar kebenarannya. Atau ada kalanya derajat ilm tidak diperlukan, seperti ketika kita tak sengaja mendengar rumor sepele tentang orang lain. Sepele dalam artian: jikapun kita mengetahuinya, pengetahuan tersebut tidak bermanfaat dan jikapun kita tidak mengetahuinya, ketidaktahuan kita tidak membahayakan [al-‘ilm bihi lâ yanfa‘ wa al-jahl bihi lâ yadhurr].

Dari pemaparan di atas, paling tidak kita tahu bahwa asumsi juga rentan. Namun sayang sekali, banyak yang terlanjur menerima asumsi begitu saja. Sehingga secara tak sadar, mereka menjauh dari kenyataan.


Challenge our own assumption?
Reality check ahead.