Enigma

“Faith is the bird that feels the light and sings when the dawn is still dark.” —Rabindranath Tagore.
Tinggal sepertiga gelas. Waktuku tak banyak. Mereka belum menjawab, tapi laku mereka menolak. Sinis. Kau tak lebih dari seorang pesimis, ejek mereka, yang terasing di sudut khayal dan tak mau beranjak. Perhatianmu terpaku pada cairan kuning itu, dan semakin mengerut bersama volumenya yang semakin mengecil. Pandanganmu terbatas, sebatas dangkalnya permukaan ashir itu.

Lewati batas itu. Tapi dengan apa?

Mata mereka menyorot ruang kosong di atasnya, yang tak kuhiraukan. Ketiadaan yang kau abaikan adalah kunci. Aku masih ingat mereka bilang, bersyukurlah. Ya, bersyukurlah atas dua pertiga yang telah kau nikmati. Acuhkan kelabu yang menggelayuti langitmu. Di atas mendung itu, langit masih biru.

Suara-suara itu masih terus berbisik, namun aku masih ragu. Apakah mereka hanya menghibur diri? Ketidakpastian memang bukan jaminan keberhasilan, tapi ia juga bukan jaminan kegagalan. Titik terang itukah yang kau sebut harapan?

Ah, kau menyebut harapan; mengingatkanku akan kisah Pandora—sang putri Dewa—dan kotak terlarang. Pandora yang membukanya tak tahu, bahwa Zeus memenuhinya dengan malapetaka. Tangis Pandora tak lagi berguna saat segala keburukan merajalela. Namun ada satu hal yang tersisa di dasar kotak terkutuk itu, harapan.

Harapanlah yang akan menjadi obat bagi kegelapan. Itukah pikirmu?

Apakah harapan merupakan kabar baik, Pandora? Bukankah harapan palsu akan meremukkan jiwamu? Apakah harapan itu pasti?

Dari mana kita tahu, bahwa di atas mendung itu, ada langit biru. Kita tak pernah benar-benar memandangnya. Dari mana burung tahu, bahwa fajar benar-benar akan datang. Optimisme, sebagaimana pesimisme, hanyalah gambaran parsial di benak. Ia tak utuh. Ia bukan kenyataan. Ia hanya cara pandang. Lalu apa yang akan membuatnya nyata?

Katakan kawan, siapa yang bisa menjamin kepastian?