Meninjau Kembali 'Seven Habits'

Salah satu kelebihan manusia adalah ia dapat mengidentifikasi dirinya sendiri di antara pikiran-pikirannya. Ia bukan ide-ide yang ia pikirkan. Ia bukan perasaannya. Ia bukan keadaan atau lingkungan yang mengitarinya. Ia mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana seorang peneliti membedah katak di lab.

Dengan kemampuan tersebut, ia dapat memilih respon terhadap keadaan dan lingkungan. Ketika seseorang memukulnya, ia dapat memilih untuk diam atau balas memukul atau membuat pilihan lain. Ia dapat mengenali dan menimbang akibat-akibat yang lahir dari pilihan tersebut. Dari sana lahirlah tanggung jawab, kesadaran atas konsekuensi dari perbuatan yang ia lakukan.

Sounds familiar, huh?
Ya, itu konsep proaktifnya Stephen R. Covey, Seven Habits. Buku itu memang memugar pandangan para pembacanya. Dengan prinsip pertama tadi, ia mengajak kita untuk melucuti diri dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Ia ingin meneguhkan kembali eksistensi manusia, terutama di tengah-tengah variabel lain di sekitarnya. Ia ingin membebaskan manusia dari kekangan-kekangan dunia luar, menegaskan bahwa manusia selalu dapat membuat pilihannya sendiri. Sangat humanis bukan?

Tapi buku itu sendiri ditulis bukan berdasarkan pandangan agama tertentu. Covey ingin agar buku tersebut dapat digunakan oleh berbagai kalangan, tak peduli apa latar belakang mereka. Hanya saja tak dapat dipungkiri, setiap cara pandang mempunyai konsekuensi masing-masing. ‘Netralitas’ yang dimaksud oleh Covey juga mewarnai ide-ide yang ia tawarkan. Ibarat warna-warna dalam spektrum, posisi ‘oranye’ yang dinyatakan oleh Covey berarti ia tidak merah, tapi juga tidak kuning. Ketika gagasan yang ia ajukan ditinjau kembali dari perspektif agama, dalam hal ini Islam, tentunya ada hal-hal yang perlu disesuaikan.

Barangkali ciri yang paling mencolok dalam buku Covey adalah sisi pragmatisnya. Memang Covey menekankan pentingnya integritas, bahwa empati bukan sekedar ekspresi-ekspresi dangkal yang ditampilkan melalui segaris senyum atau muka prihatin. Empati menurut Covey harus berasal dari dalam diri seseorang. Namun pertanyaannya, untuk apa empati tersebut?

Dalam hubungan antar manusia, Covey menggunakan prinsip P/PC; anda berbaik hati kepada orang lain, orang lain pun akan berbaik hati kepada anda. Dalam sebagian diskusi yang pernah saya perhatikan dengan kalangan ateis, mereka menyebutnya sebagai Golden Rule, peraturan emas. Anda akan mendapatkan apa yang anda berikan. Jangan memperlakukan orang lain dengan buruk bila anda tidak mau diperlakukan dengan cara serupa. Itu satu-satunya kode moral yang mereka akui.

Prinsip P/PC ini hanya berkisar antara manusia dan manusia. Bisa dibilang salah satu kerapuhan sistem ini terletak apabila reaksi yang diharapkan tidak sesuai dengan reaksi yang diberikan di kenyataannya. Setiap orang berbuat demi balasan yang bersifat duniawi, entah apapun itu balasannya. Namun bila harapan tersebut tak kunjung tiba, manusia akan dipaksa untuk bergantung pada kepercayaan semu.

Dari perspektif lain, prinsip itu dapat disebut pamrih. Islam tidak melarang pengikutnya untuk pamrih, akan tetapi mengarahkannya. Pamrih baru dibolehkan antara manusia dengan Tuhannya. Maksudnya, manusia dapat berbuat baik lalu mengharapkan balasan, berupa ridha-Nya yang disimbolkan dengan pahala dan surga. Itu juga sejenis pamrih bukan? Tapi jika konteksnya demikian, ia berubah menjadi ikhlas.

Dalam hubungan antar manusia, sebagaimana pandangannya terhadap hidup di dunia, Islam tidak memandangnya dalam perspektif sempit. Islam tidak memposisikannya semata-mata sebagai urusan dunia, atau membatasinya antara manusia dan manusia lain. Setiap perbuatan selalu berkaitan dengan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, konsep pergaulan dalam Islam menambahkan satu elemen lagi yang luput dari prinsip P/PC, spiritualitas. Tanpanya, pergaulan dan perbuatan manusia akan terhenti pada dimensi materi semata, terpisah dari Tuhan yang menciptakan-Nya.

Covey juga tidak menentukan pusat keamanan diri (personal security). Jika seseorang menetapkan keluarga sebagai pusat keamanan dirinya, ia akan benar-benar merasa gusar dan limbung apabila permasalahan menimpa keluarganya. Sementara orang lain dapat saja menentukan keadaan finansial, masa depan, atau kewibawaannya sebagai pusat keamanan diri. Tapi hal-hal tersebut bersifat fana, akan selalu berubah dan berganti. Tak ada yang bisa menjamin pusat keamanan dirinya benar-benar tak terancam.

Barangkali—salah satunya—karena itu, angka bunuh diri di negara seperti Amerika, juga angka penderita kelainan mental akibat depresi, tercatat sangat tinggi. Angka bunuh diri di Jepang juga melonjak tajam saat negeri tersebut dilanda krisis ekonomi dan banyak orang kehilangan pekerjaan (65,3% dari total angka bunuh diri). Sementara depresi masih menjadi sebab utama fenomena bunuh diri di Jepang.

Islam menggeser pusat kehidupan pengikutnya dari hal-hal yang bersifat duniawi kepada Tuhan yang abadi, ahistoris. Ia tidak terjamah oleh perubahan-perubahan sejarah. Ia aman dari kekacauan-kekacauan dan pergolakan dunia yang tak menentu. Yang lebih menarik tentunya, Ia merupakan Pencipta semesta dan Maha Kuasa. Keimanan akan keberadaan-Nya selalu memberikan harapan, menyuntikkan sebentuk kekuatan dalam diri hamba-hamba-Nya, karena bagi-Nya tidak ada yang mustahil. Dengan bekal tersebut, umat Islam mampu bertahan meskipun dalam keadaan yang amat sulit. Mereka yakin akan perubahan serta masa depan yang lebih baik.

Karena itu pula, doa bukanlah kalimat-kalimat kosong yang diucapkan saat mengeluh atau merasa tak berdaya. Doa adalah lambang keyakinan, bahwa Ia tak akan sekalipun menzhalimi hamba-hamba-Nya.

Selain itu, Covey setelah melucuti diri manusia dari atribut-atribut lingkungan, mengarahkan manusia untuk tunduk pada hukum sebab-akibat yang ia sebut dengan hukum alam. Manusia dapat memilih, tapi konsekuensinya tidak dapat ia tentukan. Yang menentukan adalah alam. Tidak ada yang ‘memaksa’ seseorang untuk berbuat baik atau mencegahnya berbuat buruk, selama ia merasa mampu menanggung akibat dari perbuatannya. Dan akibat-akibat itu akan berhenti menghantuinya saat hidupnya berakhir.

Sedangkan dalam Islam dikenal prinsip tauhid, tiada tuhan selain Allah Swt. Pada tahap permulaan, manusia melepaskan keyakinannya akan tuhan-tuhan yang palsu. Setelahnya, ia mengakui bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Tuhan yang nyata. Bagi seorang muslim, setelah prinsip proaktif, ia menundukkan dirinya dengan sukarela kepada Allah Swt, berikut aturan main yang telah Ia tetapkan. Hukum sebab-akibat, tidak hanya berkisar antara makhluk satu dengan makhluk lain, akan tetapi juga antara makhluk dengan Penciptanya. Apakah perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan Tuhan, ataukah tidak? Sebab-akibat sebuah perbuatan juga tidak terhenti pada dunia saja, akan tetapi berdampak jauh hingga akhirat. Hari kebangkitan, hari pembalasan, surga atau neraka.

Prinsip yang sejak pertama tertanam dalam ajaran Islam ini menjadi kendali moral yang efektif bagi mereka yang benar meyakininya. Kalaupun mereka merasa mampu menanggung akibat perbuatan buruk di dunia, mereka tidak akan dapat menahan pedihnya neraka. Jikapun perbuatan baik mereka tidak mendapat balasan yang setimpal di dunia, Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya di akhirat kelak.


Tanpa mengecilkan sumbangsih mereka, konsep-konsep pengembangan diri yang diajukan oleh non-muslim seperti Dale Carnegie, Stephen R. Covey dan sebagainya, perlu ditinjau dan dimodifikasi ulang bila diperlukan, terutama ditimbang melalui kesesuaiannya dengan ajaran Islam. Bukan karena phobia terhadap produk-produk Barat, tapi faktor spiritualitas yang dimiliki Islam merupakan keunggulan dan identitas yang tak terpisahkan dari keimanan.

Di sisi lain, masih banyak ajaran Islam yang perlu untuk digali lebih jauh dan ditampilkan dalam kemasan baru, tanpa harus mengikuti konsep-konsep dari luar Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.