Kahn Factor

Di antara teman-teman saya yang penggemar bola, barangkali saya terhitung paling aneh. Ya, saat mereka menjagokan Juventus, Manchester United, Real Madrid, saya memilih Bayern Munchen. Bagi orang yang dibesarkan di Indonesia, klub-klub Italia ataupun Inggris lebih banyak digemari. Baik siaran televisi maupun media cetak nyaris tak pernah mengangkat Liga Jerman.

Memang bisa dimaklumi. Dalam dua dasawarsa terakhir, klub-klub Inggris, Italia dan Spanyol bergiliran memenangi Liga Champion Eropa. Sedang Jerman hanya dua kali, Dortmund tahun 1997 dan Bayern 2001. Selain itu, liga Inggris, Italia dan Spanyol diperkuat oleh para pemain bintang seperti Zidane, Del Piero, Ronaldo, Ronaldinho, Scholes, dll. Tentunya keberadaan mereka ikut mendongkrak popularitas liga masing-masing.

Tapi bagi anak SMP yang waktu itu diajak kakaknya begadang, sepenggal aksi Oliver Kahn menyita perhatiannya. Maklum dia lebih sering bermain sebagai kiper di Sunday League, liga hari minggu, yang skornya bisa sampai puluhan. Kalau tidak salah, pertandingan yang ia tonton malam itu adalah Intercontinental Cup. Waktu itu pemain Boca Juniors melakukan serangan balik yang cepat. Bola melambung melewati pemain bertahan terakhir Bayern yang berada di garis tengah. Sementara bek Bayern tergopoh-gopoh mengejar, striker Boca tinggal selangkah lagi menyentuh bola. Tiba-tiba tanpa diduga, bola ditackle dengan bersih oleh Kahn. Padahal posisi bola waktu itu masih jauh dari kotak penalti.

Aksi heroik Kahn berlanjut di Piala Dunia 2002. Dua tahun sebelumnya, Jerman tersingkir mengenaskan di ajang Euro. Dengan kurangnya pemain muda yang berkualitas, Lothar Matthaus yang berusia 39 tahun masih dimainkan. Tak ayal, Jerman tersisih di babak grup hanya dengan 1 poin dari 3 pertandingan. Praktis saat memasuki Piala Dunia 2002, Jerman bukan favorit.

Namun penampilan Oliver Kahn mematahkan prediksi-prediksi. Selain pertandingan melawan Saudi dan Kamerun (keduanya di babak grup), Jerman hanya mampu melesakkan satu gol ke gawang lawan. Tiga pertandingan di babak penyisihan, masing-masing dimenangi dengan skor tipis 1-0.

Jangan keliru, Jerman saat itu bukan tim dengan pertahanan yang kuat. Kahn harus berkali-kali menyelamatkan gawangnya dalam situasi satu lawan satu (one on one). Hebatnya, sepanjang turnamen hanya ada 2 orang yang berhasil menyarangkan bola ke gawangnya: Robbie Keane dan Ronaldo. Sementara itu, ia cuma kebobolan 3 gol: 1 di babak grup dan 2 di pertandingan final. Jerman memang bukan tipikal one-man team. Mereka mempunyai semangat teamgeist. Tapi bisa dikatakan, Jerman bisa sampai ke final berkat jasa Kahn. Hingga ada yang bilang, Jerman cukup mencetak satu gol, sisa pertandingan tinggal mereka serahkan ke Oliver Kahn.

Di final, Kahn tak mampu menghentikan tendangan Rivaldo sehingga bola mental ke kaki Ronaldo, yang mencetak gol tanpa susah payah. Sebenarnya Kahn memasuki pertandingan final dengan jari telunjuk yang cedera. Bukan maksud saya berapologi. Kahn tak menyalahkan cedera. Ia justru seolah-olah memanggul beban kekalahan itu sendirian. “…Momen itu adalah satu-satunya kesalahan saya selama tujuh pertandingan, namun akibatnya sangat fatal,” akunya.

Walaupun Jerman harus puas dengan runner-up, Oliver Kahn memenangkan Lev Yashin Award: penghargaan untuk penjaga gawang terbaik selama turnamen berlangsung. Ia juga menorehkan sejarah dengan menjadi penjaga gawang pertama sekaligus satu-satunya (hingga kini) yang memenangkan Golden Ball: penghargaan untuk pemain terbaik di Piala Dunia.

Di tingkat klub, Kahn merupakan sosok yang dominan dan ‘garang’. Media menyebutnya ‘Sang Gorilla’. Kepribadian khas kapten Bayern waktu itu, seperti Lothar Matthaus dan Stefan Effenberg. Van Bommel, yang menjadi kapten Bayern setelahnya, tak sedominan itu. Apalagi Philipp Lahm yang terkesan kalem.

Sepeninggal Kahn, Bayern kesulitan menemukan pengganti yang berkualitas. Michael Rensing dan Thomas Kraft yang digadang-gadang ternyata tak mampu menyamai Kahn. Akhirnya Rensing malah hengkang ke Hertha Berlin, bahkan sempat menganggur, tak punya klub, hingga FC Koeln menyewa jasanya di penghujung tahun 2010.

Bayern baru menemukan penjaga gawang yang dapat diandalkan ketika membeli Manuel Neuer dari Schalke 04. Penuh kontroversi memang. Selain karena berasal dari klub rival, Neuer pernah mengolok-olok Kahn dengan meniru selebrasinya. Kahn mencabut bendera di pojok lapangan, mengangkatnya tinggi-tinggi, saat merayakan trofi Bundesliga tahun 2001 dan menyisihkan Schalke di juara kedua hanya dengan selisih gol. Neuer balas dendam tahun 2009 dengan melakukan aksi serupa, ketika Schalke 04 mengalahkan Bayern di Allianz Arena.

Perekrutan Neuer pada tahun 2011 melanjutkan tradisi Bayern yang selalu memiliki kiper-kiper top di Jerman. Kahn mengawal gawang Bayern selama 14 tahun, antara tahun 1994 hingga 2008. Sebelumnya, Bayern mempunyai Sepp Maier, kiper legendaris Jerman yang dijuluki "Si Kucing dari Anzing" (Die Katze von Anzing) karena kecepatan refleknya. Ia membela Bayern dari tahun 1964 hingga 1980, bermain bersama Franz Beckenbauer dan Gerd Muller, sekaligus menjadi bagian dari tim legendaris Bayern yang memenangi tiga Piala Eropa berturut-turut (1974-1976). Antara tahun 1966 hingga 1979, atau selama 13 tahun, Sepp Maier tak tergantikan di bawah mistar; mengikuti 442 pertandingan Bundesliga berturut-turut!

***

Pepatah bilang dari mata jatuh entah-ke-mana, tapi bagi saya, dari Kahn berlanjut ke Bayern. Bisa dibilang, saya baru resmi jadi fans Bayern sejak musim 2008/2009. Sebelumnya? Fan of Kahn :D


*Tulisan berseri ini dibuat sebagai penutup musim terakhir yang saya ikuti. Waktu berevolusi telah tiba. Auf Wiedersehen, Bayern!