Order within Chaos

[ Life doesn't work that way ]

Ada saatnya ketika kita sudah berusaha dengan keras, namun hasilnya tak seperti yang kita harapkan. Ada kalanya ketika rencana sudah tersusun dengan rapi, namun ia tak sesempurna itu di lapangan. Prakiraan, harapan yang berbuntut pada kekecewaan. Antara idealisme dan wujud praktis memang tak linear, setidaknya hubungan antara keduanya tak seruntut alur logika.

Memang merupakan kecenderungan alami bagi logika, untuk menuntut segala sesuatunya terjadi secara runtut, ibarat akal yang menaiki anak tangga satu per satu, berjalan dari satu premis ke premis selanjutnya. Logika menginginkan agar peristiwa-peristiwa itu tersusun dalam pola-pola yang teratur, sehingga mudah ia pahami dan ia ramalkan.

Gambaran otak akan kerja alam yang runtut, logis, dan pasti menemukan justifikasi dalam teori Newton tentang alam yang serba mekanistik. Peristiwa yang terjadi di dunia ini terikat dalam hubungan sebab-akibat yang ketat. Sebuah akibat hanya akan terjadi apabila sebabnya ada. Sebaliknya, bila sebab tersebut muncul, maka mau tak mau akibat itu musti ada. Gambaran Newton akan alam tidak sedikit pun menyisakan celah bagi kemungkinan, seolah-olah alam ini bekerja dengan hitungan matematis.

Di satu sisi, teori yang dikemukakan Newton merupakan kabar gembira bagi kalangan saintis. Sebab kegiatan-kegiatan saintifik memang ditujukan untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam. Penjelasan yang telah dicapai selanjutnya digunakan untuk merekayasa alam demi kepentingan manusia. Untuk itulah dibutuhkan semacam optimisme, bahwa alam ini mengikuti sebuah pola yang teratur dan dapat dimengerti. Teori Newton memberikan jawaban yang afirmatif.

Sayangnya, manusia dalam konsepsi kausalitas semacam ini (deterministik), tidak mempunyai keistimewaan. Ia dipandang sebagai salah satu bagian alam yang tunduk pada hukum kausalitas yang universal. Manusia dengan kualitas emosi, perasaan, pikiran, dan kreativitasnya direduksi seperti benda mati, yang tak punya daya apa-apa selain mengikuti alur sebab-akibat.

Bagi Newton, dunia ini bagai arloji yang bekerja dengan sendirinya setelah dibuat.
'Pembuat arloji' tak lagi dibutuhkan karena alam dapat mengatur dirinya sendiri.

Namun belakangan ini konsepsi alam Newton yang mekanistik-beserta implikasinya pada takdir yang deterministik-mendapat tantangan serius. Pengamatan Heisenberg terhadap pergerakan bagian-bagian atom justru menunjukkan ketidakteraturan, acak; chaos. Hal ini berarti alam pada level subatomik—yang menjadi dasar bagi wujud yang lebih tinggi—tidak tunduk pada aturan-aturan yang dikonsepsikan oleh Newton. Keseragaman hubungan sebab-akibat yang tampak di 'permukaan' disebabkan kemungkinannya yang jauh lebih tinggi daripada kemungkinan-kemungkinan lain.

Logika yang selalu runtut tak dapat memahami chaos.

Penemuan terbaru itu menimbulkan pergeseran paradigma akan kerja alam, ditandai dengan lahirnya teori kuantum yang menggantikan mekanika Newton. Akibatnya, pandangan deterministik akan perbuatan manusia dan takdir tak lagi relevan. Oleh karena itu, perjalanan mulus logika tak selalu terwujud di alam fisik.

David Hume sebelumnya telah menggagas teori probabilitas. Hukum alam ternyata tak semutlak itu, ia hanya berkisar pada kemungkinan-kemungkinan. Manusia juga tak seperti robot yang kreativitasnya terbatas. Hume mendasarkan teorinya pada paham empirisisme yang menolak ide-ide bawaan akal (innate idea), termasuk kausalitas. Baginya, justru kausalitas itulah yang merupakan kesimpulan akal dari pengamatan-pengamatan terhadap kenyataan fisik yang ditangkap indera.

Tapi jauh sebelum Hume, Ghazali, sang teolog Asyariah yang hidup di awal abad ke-12 M, telah mengemukakan konsep takdir yang longgar. Sekilas Ghazali tampak pesimis terhadap kemungkinan kausalitas. Namun pada taraf tertentu, menurutnya akal dapat mengetahui hubungan antara sebab dan akibat. Hanya saja pengetahuan tersebut hanya berdasar pada kebiasaan ('adah). Belum tentu apa yang pernah terjadi di masa lalu akan terulang lagi, walaupun dalam kondisi yang sama. Akal tak bisa memastikan dengan mutlak apa yang akan terjadi di masa depan.

Pesimisme Ghazali terhadap kausalitas berbeda dari Hume yang membangun argumentasinya atas dasar empirisisme. Ghazali—sebagaimana teolog Asy'ariyah lain—ingin meneguhkan kekuasaan ketuhanan dalam hubungan kausalitas yang tidak mutlak. Sebab Allah Swt Yang Mahakuasa tidak tunduk pada konsepsi manusia akan kausalitas. Satu-satunya yang mutlak bagi Ghazali adalah kehendak Allah Swt itu sendiri.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa konsep kausalitas Ghazali merupakan upaya sintesis antara agama dan sains. Ia membangun optimisme dengan memperhitungkan realitas fisik dan keimanan.

Alam ini tak serapi yang Newton kira, dan hidup ini tak selalu logis.
Selalu ada kemungkinan-kemungkinan lain.

Lalu apakah kita harus menyerah untuk memahami alam?
Apakah kita harus berhenti berusaha?

Ketidakpastian itu terjadi karena kita memandang dari perspektif makhluk, yang tak diberi sebagian dari ilmu-Nya kecuali setitik saja. Bagi Allah Swt, ketidakpastian itu tidak ada. Sebab pertama, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, termasuk dari masa lalu makhluk hingga masa depannya. Sebab kedua, Ia adalah Yang Mahakuasa, tak ada satupun yang dapat merintangi kehendak-Nya. Kun fayakun.

Karena kita tak mengetahui dengan pasti masa depan, sebab prinsip deterministik ketat yang telah terbongkar dan sebab kita hanya makhluk, bukan Tuhan yang menguasai segalanya, maka sudah sepatutnya kita berusaha. Apapun yang menjadi kehendak-Nya nanti, sesungguhnya Allah Swt tidak akan sekalipun menzhalimi hamba-hamba-Nya.


So how does life work?
Keep calm and trust Allah.

Wallahu a'lam bishawab.

"(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).

Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)," [QS 53:38-42]

Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas ra., ia berkata : Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat :

Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu.
Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu.
Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah.

Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu.

Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi)