Gagasan Sekularisasi Nurcholish Madjid

Ada dua gagasan Nurcholish Madjid yang kiranya perlu diangkat di sini: modernitas Islam dan sekularisasi. Kedua ide ini sebenarnya saling berkaitan.

Baginya modernitas adalah rasionalisasi. Dalam hal ini, ia membedakan antara rasionalitas dan rasionalisme. Sah-sah saja kan, bagi seorang pemikir untuk memiliki definisi tersendiri seperti pembedaan antara pluralitas dan pluralisme seperti yang digagas INSISTS, atau antara sekularisme dan sekularisasi yang juga dicetuskan oleh Nurcholish. Pembedaan yang terakhir ini nantinya akan memicu kontroversi.

Rasionalisme adalah paham yang mendewakan akal. Para penganut paham ini meyakini bahwa akal dapat menjangkau seluruh realitas, dan sebaliknya, seluruh realitas tercakup dalam lingkup akal. Artinya, segala sesuatu yang tidak rasional dinyatakan tidak wujud. Paham ini menurut Nurcholish bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab Islam juga mengenal dimensi metafisik dan entitas transenden. Oleh karena itu, Islam hanya menganjurkan rasionalitas, bukan rasionalisme. Akal dalam Islam memiliki kemampuan yang terbatas. Wahyu turun untuk melengkapi kelemahan akal. Jadi arti rasionalitas adalah upaya untuk memahami Islam sesuai dengan kadar kemampuan akal yang dimiliki oleh manusia. Karena keterbatasannya pula, ia harus bersikap rendah hati dengan tidak mengaku paling benar.

Suffix –sasi dalam sebuah kata biasanya menunjukkan proses. Kata rasionalisasi kerap kali diidentikkan dengan proses menuju rasionalisme. Tapi Nurcholish mengatakan bahwa rasionalisasi yang ia maksud adalah proses menuju rasionalitas. Rasionalisasi inilah yang memegang peran penting dalam proses sekularisasi.

Sekularisasi oleh Nurcholish dibedakan dari sekularisme. Jika sekularisme adalah pemisahan agama dari hal-hal yang bersifat duniawi, maka sekularisasi diartikan Nurcholish sebagai upaya untuk menduniawikan hal-hal yang duniawi dan mengukhrowikan hal-hal yang bersifat ukhrowi. Sekilas keduanya tampak mirip. Tak heran apabila ketika ide ini dicetuskan, banyak kritikan dilancarkan kepadanya. Nurcholish sendiri harus berkali-kali menulis artikel di media massa untuk menjelaskan maksud gagasannya.

Yang aku pahami melalui tulisan-tulisan itu, bahwa Nurcholish mengidentikkan sekularisasi dengan prinsip tauhid. Tauhid versi siapa? Ibnu Taimiyah. Memang terlihat rancu untuk mengaitkan sosok Ibnu Taimiyah dengan Nurcholish Majid. Belakangan ini, Ibnu Taimiyah lebih dikenal sebagai seorang tekstualis, dengan pengaruhnya terhadap gerakan Wahabisme di Saudi. Sementara Nurcholish adalah pengusung rasionalitas di dunia Islam kontemporer. Karena itu, menarik untuk diketahui, bagaimana cara Nurcholish menerapkan prinsip tauhid tersebut.

Cak Nur mengatakan bahwa sekularisasi yang ia gagas adalah upaya untuk menduniawikan hal-hal yang selama ini disakralkan selain Tuhan. Menurutnya, umat Islam tertinggal karena mandeknya ijtihad. Sebabnya terlalu banyak hal-hal yang ‘disucikan’ dan dianggap tabu untuk diutak-atik kembali. Padahal yang terbebas dari perubahan hanyalah Tuhan. Ide sekularisasi Nurcholish mendorong proses desakralisasi. Segala sesuatu selain Tuhan harus didesakralisasikan, baik yang berupa materi, maupun nilai. Sehingga wilayah yang ‘tabu’ untuk dibahas menjadi sempit sekaligus membuka lahan untuk ijtihad.

Kesimpulan Nurcholish memang terbuka untuk diperdebatkan, sebab bagi sebagian kalangan, baik sekularisasi maupun sekularisme memiliki dampak yang sama. Desakralisasi nilai akan membuka kembali pertanyaan tentang moralitas, misalnya. Atau jika dikaitkan dengan modernitas yang diusung Nurcholish, akan mempertegas unsur relativitas dalam ide-idenya.


[referensi]
Nurcholish Madjid. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1995.