Liar

Heath Ledger. Ah, bukan. Si Joker. Tak ada yang tahu persis apa yang menyebabkannya menjadi penjahat murni. Murni jahat. Tujuannya bukan uang. Pernah segunung uang hasil rampokannya ia bakar begitu saja. Itu pula yang membuatnya berbahaya. Jika perampok biasa dapat diajak berunding oleh polisi soal uang, Joker tidak. Tidak ada ruang yang bisa dinegosiasikan. Bahasa kacaunya, si Joker itu ikhlas. Ikhlas jahatnya.

Di beberapa penggal film Batman, atau mungkin gamenya, entah saya lupa, diceritakan kalau masa kanak-kanak si Joker bisa dibilang memilukan. Ayahnya seorang pemabuk. Kerap kali sang ibu menjadi sasaran aniaya. Suatu ketika, Joker yang sedang ketakutan meringkuk di sudut ruangan. Ayahnya menghampirinya dengan sebilah pisau.

"Hei, mengapa kau serius sekali?" tanya sang ayah. "Mari kita beri senyum."

Tanpa menunggu jawaban Joker, sang ayah menggores tepi bibir anaknya. Melebar, membuat garis senyum dari luka dan darah. "Why so serious?"

Pengalaman itu membuahkan kata-kata Joker yang kerap dikutip, "Whatever doesn't kill you, simply makes you stranger."

Entah bagaimana caranya, Joker bisa bertahan dalam keadaan yang demikian. Yang jelas ia lalu muncul sebagai penjahat nomor wahid di kota Gotham.

Kalau kata Aristoteles, filsuf Yunani yang terkenal itu, tidak ada yang muncul dari ketiadaan. Perilaku seseorang pun pasti ada sebab yang dapat menjelaskannya, atau membuatnya mungkin dipahami. Meski pemahaman terhadap latar belakang seseorang tidak selalu menjadikan perbuatannya benar.

Di lingkup pesantren misalnya, banyak kita temui anak yang melanggar peraturan. Banyak sebabnya. Mulai dari nasib apes seperti sandal yang dipinjam teman sampai telat berangkat ke masjid, hingga sikap yang seolah menantang pengurus. Padahal, seperti yang tertulis tadi, semua ada sebabnya.

***

Malam itu remaja jangkung itu bercerita panjang lebar. Sebut saja namanya Doni. Dulu di pondok, ia dikenal sebagai pelanggar tetap. Setiap bagian organisasi santri punya catatan kesalahan yang ia perbuat. Bukan hal yang aneh lagi kalau dia kerap dihukum karena melanggar disiplin. Karena itu, teman-teman dan pengurusnya mengenal dirinya sebagai anak nakal, bandel, dan sederet label negatif lainnya.

Doni sebenarnya tahu bahwa apa yang ia perbuat melanggar peraturan, tapi ia punya alasan. Terkadang saat ia merasa ingin dekat kepada-Nya, membaca dan merenungi al-Quran, waktu kegiatan lain sudah tiba. Mau tak mau, ia harus bergegas ikut kegiatan tersebut. Namun karena ia merasa keinginannya tak terpenuhi, ia pun berat untuk beranjak. Akibatnya, Doni terlambat ikut kegiatan. Memang, konflik itu tidak selalu terjadi antara baik dan buruk, seperti di sinetron-sinetron. Antara dua kebaikan pun bisa saling bertabrakan.

Doni pernah mencoba berubah. Seminggu tingkah lakunya mulai membaik. Kegiatan ia ikuti dengan tertib. Jumlah pelanggaran juga sudah berkurang. Tapi tidak ada orang yang menaruh perhatian terhadap perubahan tersebut, apalagi mengapresiasinya. Ia merasa usahanya tidak dihargai. Sekali ia berbuat salah lagi, cercaan kembali dialamatkan kepadanya.

Doni merasa serba salah. Seolah-olah apapun yang ia lakukan selalu keliru di mata orang lain. Ia bingung dan putus asa. Pernah ia mendatangi gurunya dengan harapan, barangkali sang guru mau berusaha mendengarkan dan memahami; tidak buru-buru memvonisnya. Tapi harapan itupun pupus. Sang guru terlanjur kehilangan kepercayaan terhadap Doni. Atau mungkin sang guru enggan mempercayai anak didiknya lagi? Bagaimanapun juga, penolakan oleh gurunya itu membuat Doni berpikir bahwa tidak ada orang yang mau memahaminya.

Di tengah tuntutan lingkungan yang tak kunjung dapat ia puaskan, Doni mengalami kebingungan menentukan sikap. Ketika di tempat A, ia memposisikan diri yang berbeda dengan dirinya ketika di posisi B, dan demikian seterusnya. Hingga pada titik yang paling nadir, ia merasa dalam dirinya terdapat empat kepribadian yang berbeda. Kepribadiannya pecah. Ia menderita gangguan kejiwaan yang disebut kepribadian ganda. Split personality.

Doni belum menceritakan kepadaku bagaimana ia dapat sembuh dari penyakit tersebut. Tapi ia bersikukuh mengatakan kepadaku, sejatinya orang-orang yang berkepribadian ganda itu sedang membohongi dirinya sendiri. Mereka tahu bahwa kepribadian yang berlainan itu adalah bagian dari diri mereka. Tapi mereka menolak untuk mengakuinya. Mereka berhasil meyakinkan diri sendiri, bahwa itu adalah kepribadian yang lain. Dan itu bukan mereka.

Pernyataan yang Doni sebutkan tadi memperjelas satu hal bagiku: saat jiwanya terganggu, Doni mencoba untuk menguasai dirinya sendiri. Tak semua orang mau memikul tanggung jawab atas apa yang menimpa mereka. Banyak yang kemudian menyalahkan keadaan, mencari pembenaran atas ketidakberdayaan mereka. Akibatnya, mereka justru semakin terpuruk.

Mengakui kelemahan dan kesalahan diri sendiri memang berat dilakukan. Namun itulah langkah pertama menuju perubahan. Mungkin itu pesan yang dapat kutangkap dari pernyataan Doni.

Pepatah bilang, kasih anak sepanjang galah, kasih orang tua sepanjang jalan. Jika ada cinta yang tanpa syarat, itulah cinta orang tua terhadap anaknya. Berbeda dengan penolakan demi penolakan yang ia alami di asrama, Doni mendapatkan kepercayaan penuh dari orang tuanya. Siapa yang tahu, justru karena kepercayaan tersebut, Doni dapat berubah. Bukan karena kritik, bukan pula hukuman. Tapi kepercayaan.

Barangkali sebaris kalimat yang pernah aku baca, entah di mana, ada benarnya. Di balik sosok anak yang liar, ada jiwa yang kesepian.