Ilmu Sebagai Kesadaran

Suatu ketika, saat membaca al-Khusyu' fis-Shalat karya Ibnu Rajab al-Hanbali, perhatian saya terpaku pada pernyataan beliau bahwa tingkat kekhusyu'an seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya terhadap Allah SWT.

Pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya, bahwa Allah SWT bersifat wujud, tak berawal dan tak berakhir, telah dibahas oleh ulama kalam atau tauhid. Al-Quran sendiri dalam surat al-Ikhlas secara gamblang menyatakan Allah itu Maha Esa, tunggal, tak beranak, tidak diperanak, dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyetarai-Nya.

Masalahnya hal-hal teoritis semacam itu dapat diketahui oleh semua orang yang membaca al-Quran, tak peduli ia muslim atau bukan. Banyak pengajar Islamic Studies yang menghafal al-Quran, dan barangkali, lebih tahu tentang tafsir daripada masyarakat awam. Padahal pengajar tersebut tidak beragama Islam, apalagi meyakini bahwa al-Quran itu wahyu Tuhan.

Lalu apakah mereka lebih khusyu' dalam shalat dibandingkan muslim yang awam? Pertanyaan ini rancu sebab mereka bukan muslim. Kalaupun jawabannya tidak, lalu pengetahuan macam apa yang dimaksud oleh Ibnu Rajab al-Hanbali?

Pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui perantara indera dan akal. Dengan panca indera, manusia bisa tahu warna, bau, rasa, dan suara. Lewat akal, manusia bisa tahu bahwa 1+1=2, atau dua orang yang berbeda tidak mungkin berada di satu tempat dan waktu yang sama.

Tapi ada jenis pengetahuan lain, yang tidak diperoleh lewat indera maupun akal. Misalnya saat merasa dibohongi, manusia merasa kecewa. Ia tahu bahwa ia kecewa. Pengetahuannya bahwa ia kecewa tidak diketahui lewat indera maupun akal. Pengetahuan ini hadir tanpa perantara indera maupun akal. Ia serta merta tahu.

Pengetahuan jenis ini tidak sama dengan pengetahuan inderawi atau pengetahuan rasional. Dalam bahasa Arab tetap diistilahkan sebagai 'ilm, namun dalam bahasa Indonesia, barangkali lebih dekat pada makna kesadaran.

Kalau dikaitkan dengan pernyataan Ibnu Rajab, mungkin dapat dipahami bahwa tingkat kekhusyuan seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan pengetahuannya terhadap Allah SWT, yaitu saat ia secara langsung menyadari bahwa Allah SWT ada dan sedang mengawasinya; begitu pula dengan kesadaran akan sifat-sifat-Nya.

Dengan kata lain, semakin tahu (baca: sadar) seseorang akan keberadaan dan sifat-sifat Allah SWT, maka semakin khusyu' pula ia dalam shalatnya.

Wallahu a'lam bis-shawab


---

Penjelasan yang lebih bersifat teknis dapat dirujuk pada konsep pengetahuan presensial (al-'ilm al-hudhuri) Mulla Sadra dan ilham menurut al-Ghazali.