tag:blogger.com,1999:blog-9508607945552265792024-03-05T19:55:47.160+07:00monologueLihat | Dengar | Rasanggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comBlogger61125tag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-81471801770718791592020-04-15T09:21:00.002+07:002020-05-13T13:43:43.925+07:00Fakta atau Opini?<i>An oversimplified introduction.</i><br />
<br />
Konon pagi itu, di negeri antah-berantah, puluhan tahun lalu saat selebgram belum tercipta, sambil menyeruput kopi disertai tempe mendoan pedas bikinan bini, Pak RT membaca koran langganannya di teras.<br />
<br />
“Buset, korban corona banyak banget. Semalem aja nyaris seribu orang mati.”<br />
<br />
“Di mane tuh, bang?” sahut bininya sambil menumis bawang.<br />
<br />
“Di Itali sono. Neh judulnya “Kabar Terbaru Coronavirus: Italia Mendata Nyaris Seribu Orang Meninggal dalam Sehari.” [1]<br />
<br />
“Masih sedikit tuh.”<br />
<br />
“Ck, seribu kok dibilang dikit. Nyawa itu,” sangkal Pak RT, tak mau kalah.<br />
<br />
“Sedikit daripada Amrik. Ada nih beritanya: “Coronavirus: Lebih dari 2000 jiwa meninggal dalam sehari di Amerika.” [2]<br />
<br />
“Koran mana?!”<br />
<br />
“Tuh,” jawab sang bini kalem, sambil menunjuk kertas bungkus cabe yang dibeli dari tukang sayur keliling tadi pagi, yang ternyata potongan koran kemarin lusa.<br />
<br />
***<br />
<br />
Pernyataan di koran, bahwa di Italia dan Amerika ada sekian korban, diangkat dari liputan langsung jurnalis yang mendapatkan data dari pihak yang berwenang. Kalimat “Italia Mendata Nyaris Seribu Orang Meninggal dalam Sehari” dan “Lebih dari 2000 jiwa meninggal dalam sehari di Amerika” adalah kenyataan yang sebenarnya, karena itu disebut fakta.<br />
<br />
Namun kadang saat peristiwa terjadi kita tidak hanya menceritakan ulang kejadian itu apa adanya. Maklum, setiap orang dapat menilai atau sekedar berkomentar. Pak RT misalnya, saat membaca judul berita bahwa nyaris seribu orang meninggal dalam semalam gara-gara penyakit langsung menyebut bahwa itu angka yang besar. Tapi bagi istrinya, angka itu relatif [3] kecil. Nah, penilaian atau pendapat Pak RT dan istrinya disebut opini.<br />
<br />
Bedanya, fakta adalah sama bagi semua orang dan tidak dapat diperdebatkan. Misal fakta: “Liverpool mencetak tiga gol ke gawang Manchester City pada November tahun lalu.” Tidak ada yang dapat menyangkalnya karena itu fakta.<br />
<br />
Lain halnya dengan opini. Misalnya ada yang menyebut “hidup di desa lebih nyaman”, namun pendapat itu belum tentu berlaku, belum tentu benar, bagi orang lain, contohnya bagi orang yang memang sudah terbiasa hidup di kota.<br />
<br />
Perbandingan antara fakta dan opini bisa diamati dalam kolom berikut:<br />
<br />
<b>FAKTA</b><br />
Dinding ruangan itu berwarna putih<br />
Bunga itu berwarna merah<br />
Harga jilbab itu 50.000 rupiah<br />
Berat badanku 55 kg<br />
<br />
<b>OPINI</b><br />
Ruangan itu terasa lapang<br />
Bunga itu membosankan<br />
Jilbab itu cocok bagi kulit gelap<br />
Aku gemuk<br />
<br />
Nah, sekarang apa contoh fakta dan opini menurutmu?<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
[1] Coronavirus latest: Italy registers nearly 1,000 new deaths in single day, https://www.dw.com/en/coronavirus-latest-italy-registers-nearly-1000-new-deaths-in-single-day/a-52934034, berita tertanggal 27 Maret 2020, diakses 14/4/2020 pukul 14:59.<br />
<br />
[2] “Coronavirus: US death toll passes 2,000 in a single day”, https://www.bbc.com/news/world-us-canada-52249963, berita tertanggal 11 April 2020, diakses 14/4/2020 pukul 14:59.<br />
<br />
[3] Relatif berarti bila dibandingkan dengan hal lain. Misal: 100 km/jam sudah termasuk kencang di jalan tol, namun relatif lambat bila dibandingkan dengan kecepatan mobil Formula Satu di sirkuit. Gedung tiga lantai di kompleks sekolah sudah termasuk tinggi, namun masih relatif rendah bila dibandingkan dengan tinggi apartemen di Jakarta.
nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-73655553612865612992019-04-24T14:18:00.000+07:002019-04-24T14:18:14.575+07:00Qalb Sebagai Alat Berpikir dalam Al-Quran<i>Berpikir dengan qalb bukan hanya rasional, namun juga selalu berkaitan dengan iman, dzikir, dan mengenali yang haq.</i><br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Dari <a href="https://nggapriel.blogspot.com/2019/04/ragam-penggunaan-kata-qalb-dalam-al.html" target="_blank">paparan tentang ragam penggunaan kata qalb dalam al-Quran</a>, dapat dipahami bahwa hati adalah jiwa yang berdzikir, membedakan antara haq dan batil serta menerima hidayah, dan merupakan tempat iman bersemayam.<br />
<br />
Dengan mengingat makna tersebut, mari kita telaah ayat yang membicarakan hati sebagai alat berpikir.<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;">أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ <b>قُلُوبٌ </b>يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ</span><br />
<br />
<i>"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai<b> hati yang dengan itu mereka dapat memahami</b> atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada."</i> (QS al-Hajj : 46)<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam ayat ini dipahami bahwa fungsi <i>qalb </i>(hati) adalah berpikir (<i>ya'qilun</i>). Namun apakah maknanya hanya sebatas itu saja?<br />
<br />
Ada baiknya kita telusuri ayat sebelum dan sesudah ayat tersebut untuk memahami lebih dalam konteks pembicaraannya. Dalam hal ini ayat 42-48 dari surat al-Hajj.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
42. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) mendustakan engkau (Muhammad), Begitu pulalah kaum-kaum yang sebelum mereka, kaum Nuh, 'Aad dan Tsamud (juga telah mendustakan rasul-rasul-Nya),<br />
<br />
43. Dan (demikian juga) kaum Ibrahim dan kaum Luth,<br />
<br />
44. Dan penduduk Madyan. Dan Musa (juga) telah didustakan, namun Aku beri tenggang waktu kepada orang-orang kafir, kemudian Aku siksa mereka, maka betapa hebatnya siksaan-Ku.<br />
<br />
45. Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena penduduknya dalam keadaan zalim, sehingga runtuh bangunan-bangunan dan (betapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (tidak ada penghuninya),<br />
<br />
<b>46. Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.</b><br />
<br />
47. Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.<br />
<br />
48. Dan betapa banyak negeri yang Aku tangguhkan penghancurannya, karena penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah tempat kembali (segala sesuatu).<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Jadi kata <i>qalb </i>digunakan untuk berpikir dalam rangka memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dengan hidayah sebagai tujuannya, sehingga kegiatan berpikir menjadi bagian dari ibadah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian makna ini masih selaras dengan penggunaan lain kata <i>qalb </i>dalam al-Quran, yaitu sebagai tempat bersemayamnya iman, pembeda haq dan batil, serta untuk berdzikir.<br />
<i><br /></i>
<i>Wallahu a'lam bis shawab.</i><br />
<br />
<br />
***<span style="font-size: large;"></span><br />
<span style="font-size: large;"></span><br />
<span style="font-size: large;"></span><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;">وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ <b>لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا</b> وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ</span><br />
<br />
<i>Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, <b>mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) </b>dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.</i> (QS. Al-Araf : 179)nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-51143626199565027002019-04-24T13:55:00.002+07:002019-04-24T13:55:36.941+07:00Ragam Penggunaan Kata Qalb dalam Al-QuranSetelah menyimak <a href="http://nggapriel.blogspot.com/2017/08/makna-qalb-ruh-nafs-dan-aql.html" target="_blank">uraian Imam al-Ghazali tentang kata <i>qalb</i></a>, ada baiknya kita juga merunut penggunaan kata <i>qalb </i>dalam al-Quran.<br />
<br />
Kata <i>qalb </i>beserta berbagai turunannya (misalnya <i>qulub </i>sebagai bentuk plural/jamak) digunakan dalam berbagai konteks dan maksud dalam al-Quran. Pengetahuan akan ragam makna dan penggunaan tersebut penting untuk memahami kata <i>qalb </i>lebih jauh. Penggalan-penggalan makna itu tak dapat dilepaskan antara satu sama lain, sehingga kita dapat menyusun pemahaman yang lebih utuh.<br />
<br />
Di antara makna kata <i>qalb </i>adalah:<br />
<br />
<b>1. Dzat yang berdzikir </b>(QS. Ar-Rad : 28)<br />
<br />
<span style="font-size: large;">الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ <b>قُلُوبُهُمْ </b>بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ</span><br />
<br />
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan <b>hati </b>mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."<br />
<br />
<br />
<b>2. Pembeda antara haq dan batil </b>(QS. Al-Anam : 25)<br />
<br />
<span style="font-size: large;">وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ ۖ وَجَعَلْنَا عَلَىٰ <b>قُلُوبِهِمْ </b>أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا ۚ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا ۚ حَتَّىٰ إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ</span><br />
<br />
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal <b>Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya</b> dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan<b> jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya</b>. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".<br />
<br />
<br />
<b>3. Tempat iman bersemayam</b> (QS al-Hujurat : 14)<br />
<br />
<span style="font-size: large;">قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي <b>قُلُوبِكُمْ</b> ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ</span><br />
<br />
"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', <b>karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu</b>; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"<br />
<br />
<br />
<b>4. Alat berpikir</b> (QS al-Hajj : 46)<br />
<br />
<span style="font-size: large;">أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ <b>قُلُوبٌ </b>يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ</span><br />
<br />
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai<b> hati yang dengan itu mereka dapat memahami </b>atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada."<br />
<br />
<br />
Selain keempat makna di atas, masih ada banyak makna <i>qalb </i>lain, sebab ilmu Allah yang terkandung dalam al-Quran amat luas adanya.<br />
<br />
<br />
<i>Wallahu a'lam bish-shawab</i>.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-84927417284546108352018-10-19T06:46:00.000+07:002018-10-19T06:46:18.850+07:00Pengingat Diri<i>"Sekilas kau tampak sedang berinteraksi dengan dunia,</i><br />
<i>padahal sebenarnya kau sedang berinteraksi dengan-Nya."</i><br />
<span style="font-size: x-small;"> ~30 Agustus 2016</span><br />
<br />
Peristiwa yang silih berganti layaknya pertanyaan yang Ia ajukan. Sikap apa yang Ia ingin kau tampilkan? Langkah apa yang Ia ingin kau tempuh? Apa yang Ia inginkan darimu?<br />
<br />
Tak peduli apapun yang terjadi di sekitarmu dan kepadamu, namun pada akhirnya perhitunganmu hanyalah dengan-Nya.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-84867530296177860992018-10-18T07:20:00.001+07:002018-10-18T07:20:25.397+07:00Apa Pentingnya Logika?Logika sebagai sebuah disiplin ilmu tidak dipelajari secara khusus, kecuali pada lingkup terbatas di kampus. Sepengetahuan pribadi penulis, itupun hanya di jurusan tertentu, seperti jurusan filsafat. Adapun jurusan lain barangkali tidak berkepentingan dengan ilmu logika secara langsung.<br />
<br />
Akhir-akhir ini, seiring dengan merebaknya kebebasan berpendapat bersama dengan kemudahan akses terhadap media, bisa dikatakan semua orang dapat menyatakan pikirannya dengan leluasa. Demikian pula dengan media massa. Pemberitaan tidak lagi dimonopoli oleh media elite dengan wartawan yang mematuhi aturan dan kode etik jurnalisme. Berita dapat dibuat oleh siapa saja, tak peduli apakah berita itu valid atau tidak.<br />
<br />
Keadaan yang demikian menuntut pembaca untuk bersikap kritis terhadap apa yang ia baca. Tak semua berita atau pendapat yang ia baca adalah benar. Untuk itulah penalaran yang ketat dan benar dibutuhkan agar pembaca tidak terjebak pada kesimpulan yang keliru.<br />
<br />
Sikap kritis juga dibutuhkan agar pembaca tidak terjebak pada perdebatan yang tidak perlu. Acapkali perdebatan terjadi hanya karena perbedaan persepsi terhadap objek yang menjadi perhatian, padahal persepsi tersebut belum tentu saling menafikan. Perbedaan dalam konteks ini justru bisa digunakan untuk saling melengkapi pandangan, sehingga gambaran pembaca akan realitas akan lebih utuh.<br />
<br />
Bukankah memperdebatkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan hanya membuang-buang waktu dan energi?<br />
<br />
Menurut pendapat penulis, ini adalah salah satu sebab logika itu perlu. Namun bagaimana halnya dengan ilmu logika? Ilmu logika biasa didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah berpikir sehingga penalaran yang benar dapat dibedakan dari yang salah.<br />
<br />
Apakah untuk dapat berpikir secara benar, ilmu logika harus dikuasai terlebih dahulu? Saya kira tidak juga. Sebab setiap orang dapat menggunakan logika secara natural.<br />
<br />
Lalu apa pentingnya ilmu logika? Ilmu logika bukan prasyarat untuk berpikir logis, namun sebagai alat bantu, terutama dalam mengurai secara jelas dan sistematis sebuah ide atau pernyataan argumentatif. Sehingga dapat diketahui dengan tepat letak kesalahan penalaran bila memang ada.<br />
<br />
Semoga bermanfaat.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-21291859409539590712018-01-11T22:08:00.000+07:002018-01-11T22:09:36.753+07:00Jaman EdanRonggowarsito, seorang pujangga akhir Jawa sekaligus santri Kyai Ageng Hasan Besari, pernah menulis tentang jaman edan. Sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Istilah itu kebetulan mengingatkan saya soal materi intensif bahasa Arab yang pernah diajarkan di kampus; sebuah cerita pendek. Menurut saya ceritanya agak konyol, tapi justru karena sifat konyol dan <i>ghoiru mafhum</i>-nya, cerita itu jadi pantas untuk menggambarkan keadaan jaman edan. Kira-kira demikian terjemahannya:<br />
<br />
***<br />
<br />
Konon di sebuah kota ada seorang Raja yang bijaksana. Ia memerintah rakyatnya dengan adil. Sang Raja punya menteri yang cerdas dan adil pula. Keduanya dicintai oleh rakyat. Di tengah kota ada sumur. Airnya segar. Seluruh penduduk kota minum dari air sumur itu lantaran tidak ada sumur lain di kota.<br />
<br />
Suatu ketika, seorang penyihir singgah di kota tersebut. Ia membawa botol kecil berisi air. Sang penyihir berdiri di bibir sumur, sementara sumur itu dikelilingi oleh khalayak ramai. Sang penyihir berseru, “Aku akan meneteskan tujuh tetes air dari botol ini ke dalam sumur. Barangsiapa minum air sumur ini, ia akan menjadi gila atau mati.”<br />
<br />
Di hari berikutnya, penduduk kota dilanda kehausan. Mereka pergi ke sumur dan minum airnya. Padahal sebelumnya mereka ketakutan karena kata-kata sang penyihir. Usai minum air sumur itu, tidak ada satupun penduduk yang mati, tapi semuanya menjadi gila.<br />
<br />
Sang raja pun merasa kehausan, tapi ia takut menjadi gila atau mati. Demikian pula menterinya. Saat penduduk kota mendengar kabar bahwa raja dan menterinya belum minum air sumur, mereka berlarian ke jalan dan ke sudut-sudut kota seraya berseru, “Raja dan menteri kita sudah gila!”<br />
<br />
Saat sore tiba, Raja mengetahui kelakuan rakyatnya. Ia pun mengundang mereka ke pelataran istana. Raja menitahkan agar ia diberi piala emas yang berisi air sumur. Rakyatpun bergegas memenuhinya dan mempersembahkannya kepada raja. Seketika itu pula sang raja menyambut piala dan minum airnya. Lalu ia berikan piala kepada menteri yang serta merta menghabiskan sisa airnya.<br />
<br />
Usai menyaksikan peristiwa itu, rakyat pun kembali turun ke jalan. Kali ini mereka berseru, “Raja dan menteri kita sudah kembali waras!”<br />
<br />
***<br />
<br />
Siapa yang edan?<br />
<br />
Entah. Barangkali orang yang kita nilai edan ternyata ialah yang waras dan justru kita yang edan.<br />
<br />
<span style="font-size: large;">اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ</span><br />
<br />
<i>Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba’ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah, bi rahmatika ya arhamar-rahimeen.</i><br />
<br />
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan ikutkan kami ke dalamnya dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan hindarkan kami darinya.”nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-72090343002157970012018-01-09T09:01:00.000+07:002018-01-09T09:04:49.439+07:00Is Blogging Dead?Habis nulis yang berat-berat, sekarang bicara selingan saja, hehe.<br />
<br />
Dulu platform blogging sempat menjamur, kira-kira tahun 2005-2010. Ada Multiply yang sekarang sudah almarhum, Blogger, sama Wordpress. Blog ini pun lahir bebarengan dengan blognya <a href="http://neilhoja.blogspot.co.id/" target="_blank">Nailunniam</a>. Kalau gak salah di sekitar tahun 2007. Maaf saya lupa tepatnya, <strike>lagi </strike>males buka-buka archive :D<br />
<br />
Seingatku, isi blog waktu itu kebanyakan cerita sehari-hari, curhat. Ada juga sih yang agak serius. Tapi pada umumnya saling berbagi informasi ringan dan sederhana.<br />
<br />
Sejak popularitas Facebook menanjak, blogging mulai tersisihkan. Beberapa kawan mulai beralih aktif di Facebook. Mungkin alasannya lebih mudah berinteraksi dengan teman. Pasalnya di Blogger tidak ada fitur tambah teman, jadi agar dapat kunjungan, harus banyak-banyak tukar link dengan blog lain. Untuk berkomentar juga kurang memadai, sebab kita tidak dapat pemberitahuan kapan komentar kita ditanggapi, dan oleh siapa. Saya sendiri juga mulai jarang nulis di blog sejak punya akun Facebook, haha.<br />
<br />
Beberapa tahun terakhir jejaring sosial menjadi ajang keributan. Gaduh. Dulu Facebook jadi tempat untuk bertemu dengan kawan-kawan lama, yang bisa jadi belasan tahun gak pernah ketemu, atau yang ketemu terakhir pas perpisahan SD. Sekarang Facebook jadi tempat berdebat, saling mengejek, nyinyir, benci, dst. Melihat perkembangan penggunaannya, harusnya Facebook nambah fitur baru. Tombol "Tambahkan sebagai Teman" (Add as Friend) diimbuhi dengan tombol baru: "Tambahkan sebagai Musuh" (Add as Enemy) :D<br />
<br />
Entahlah, mungkin sudah saatnya menepi.<br />
<br />
Oh iya, jadi lupa sama judul.<br />
<br />
Yang menjadi tren sekarang mungkin microblogging, seperti di Kompasiana, Kumparan, Inspirasi.co, Qureta, Medium, dll. atau Vlog di Youtube. Sementara blog personal seperti blog ini, dengan melihat Blogger yang sepertinya tidak banyak dikembangkan oleh Google selama beberapa tahun terakhir (soal fitur dan lain-lain), saya masih bertanya-tanya, kira-kira sampai kapan Blogger akan dipertahankan Google?nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-88077821739436935052017-12-11T15:26:00.001+07:002017-12-11T15:33:41.290+07:00Ilmu Sebagai KesadaranSuatu ketika, saat membaca <i>al-Khusyu' fis-Shalat</i> karya Ibnu Rajab al-Hanbali, perhatian saya terpaku pada pernyataan beliau bahwa tingkat kekhusyu'an seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya terhadap Allah SWT.<br />
<br />
Pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya, bahwa Allah SWT bersifat wujud, tak berawal dan tak berakhir, telah dibahas oleh ulama kalam atau tauhid. Al-Quran sendiri dalam surat al-Ikhlas secara gamblang menyatakan Allah itu Maha Esa, tunggal, tak beranak, tidak diperanak, dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyetarai-Nya.<br />
<br />
Masalahnya hal-hal teoritis semacam itu dapat diketahui oleh semua orang yang membaca al-Quran, tak peduli ia muslim atau bukan. Banyak pengajar Islamic Studies yang menghafal al-Quran, dan barangkali, lebih tahu tentang tafsir daripada masyarakat awam. Padahal pengajar tersebut tidak beragama Islam, apalagi meyakini bahwa al-Quran itu wahyu Tuhan.<br />
<br />
Lalu apakah mereka lebih khusyu' dalam shalat dibandingkan muslim yang awam? Pertanyaan ini rancu sebab mereka bukan muslim. Kalaupun jawabannya tidak, lalu pengetahuan macam apa yang dimaksud oleh Ibnu Rajab al-Hanbali?<br />
<br />
Pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui perantara indera dan akal. Dengan panca indera, manusia bisa tahu warna, bau, rasa, dan suara. Lewat akal, manusia bisa tahu bahwa 1+1=2, atau dua orang yang berbeda tidak mungkin berada di satu tempat dan waktu yang sama.<br />
<br />
Tapi ada jenis pengetahuan lain, yang tidak diperoleh lewat indera maupun akal. Misalnya saat merasa dibohongi, manusia merasa kecewa. Ia tahu bahwa ia kecewa. Pengetahuannya bahwa ia kecewa tidak diketahui lewat indera maupun akal. Pengetahuan ini hadir tanpa perantara indera maupun akal. Ia serta merta tahu.<br />
<br />
Pengetahuan jenis ini tidak sama dengan pengetahuan inderawi atau pengetahuan rasional. Dalam bahasa Arab tetap diistilahkan sebagai <i>'ilm</i>, namun dalam bahasa Indonesia, barangkali lebih dekat pada makna kesadaran.<br />
<br />
Kalau dikaitkan dengan pernyataan Ibnu Rajab, mungkin dapat dipahami bahwa tingkat kekhusyuan seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan <b>pengetahuannya </b>terhadap Allah SWT, yaitu saat ia secara langsung <b>menyadari </b>bahwa Allah SWT ada dan sedang mengawasinya; begitu pula dengan kesadaran akan sifat-sifat-Nya.<br />
<br />
Dengan kata lain, semakin tahu (baca: sadar) seseorang akan keberadaan dan sifat-sifat Allah SWT, maka semakin khusyu' pula ia dalam shalatnya.<br />
<br />
<i>Wallahu a'lam bis-shawab</i><br />
<br />
<br />
---<br />
<br />
<i>Penjelasan yang lebih bersifat teknis dapat dirujuk pada konsep pengetahuan presensial </i>(al-'ilm al-hudhuri)<i> Mulla Sadra dan ilham menurut al-Ghazali.</i>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-76115558145394018992017-12-05T15:20:00.001+07:002017-12-05T15:20:20.376+07:00Jejak Filsafat dalam Ihya' Ulumiddin<br />
Sosok Imam al-Ghazali (450-505 H) telah berulang kali ditafsirkan. Ada yang menganggapnya sebagai <i>mutakallim </i>(pakar ilmu kalam) karena karya tulisnya di bidang Tauhid seperti al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Ada pula yang menganggapnya sebagai filsuf lantaran al-Ghazali menulis dasar-dasar <i>manthiq </i>(logika Yunani) dalam Mihakk al-Nazhar dan menyertakan manthiq dalam Ushul Fikih, apalagi dengan paparan al-Ghazali tentang dasar-dasar yang digunakan para filsuf dalam Maqashid al-Falasifah. Padahal buku tersebut ditulis sebagai pengantar Tahafut al-Falasifah yang mengkritik tajam para filsuf. Karena kekuatan pengaruh buku tersebut, Marmura sampai menyebut al-Ghazali telah berhasil membuat para filsuf mengambil posisi bertahan dalam level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Buktinya Ibnu Rushd sampai merasa perlu untuk menulis pembelaan terhadap filsafat dengan Tahafut al-Tahafut.<br />
<br />
Namun bagaimanapun juga kritik al-Ghazali tidak dilancarkan kepada filsafat secara keseluruhan. Tahafut al-Falasifah ditujukan hanya untuk bagian filsafat yang perlu dikritik. Ada banyak bagian dalam filsafat yang dimanfaatkan al-Ghazali, seperti teori tentang jiwa. Kata al-Ghazali, teori jiwa para filsuf sebenarnya diambil dari para sufi, hanya saja redaksinya diubah.<br />
<br />
Mungkin ini pula yang mendasari mengapa al-Ghazali mengubah banyak redaksi Ibnu Sina mengenai struktur internal jiwa. Misal saja, kata <i>qalb </i>menurut al-Ghazali merupakan padanan dari kata <i>al-nafs al-natiqah</i> (jiwa rasional) yang digunakan Ibnu Sina. Jiwa rasional hanya dimiliki oleh manusia dan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi epistemologis (untuk mengetahui) dan fungsi moral (pertimbangan). Sementara fungsi <i>qalb </i>menurut al-Ghazali juga sama, sebagai subjek yang melakukan penalaran dan pertimbangan moral. Karena itu, dua keistimewaan <i>qalb </i>yang membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan adalah <i>ilm </i>(pengetahuan) dan <i>iradah </i>(kehendak).<br />
<br />
Pada nantinya, <i>qalb </i>sebagai subjek yang menalar beroperasi dengan memanfaatkan indera, baik indera lahir maupun indera batin.<br />
<br />
Oleh al-Ghazali prinsip ini kemudian digunakan untuk mengetengahkan cara menjaga hati. Indera-indera tersebut oleh al-Ghazali diibaratkan sebagai pintu menuju hati, sebab apapun yang dicerap indera akan bermuara di hati. Maka untuk menjaga hati, indera-indera tersebut perlu dijaga. Indera batin, seperti daya khayal, juga perlu dijaga.<br />
<br />
Pada tahapan ini, al-Ghazali juga menyinggung tentang <i>khawatir </i>(lintasan pikiran). <i>Khawatir </i>ada dua jenis: <i>khawatir </i>menuju kebaikan, yang ini berasal dari malaikat dan disebut dengan <i>ilham</i>. Sedang <i>khawatir </i>menuju keburukan berasal dari setan dan disebut dengan <i>waswas</i>. Di antara <i>khawatir </i>itu ada yang timbul di luar kehendak manusia, dan karena itu, jenis <i>khawatir </i>yang ini tidak termasuk dalam penilaian syariat; tidak berakibat pada pahala maupun dosa. Di titik ini, al-Ghazali bersinggungan dengan prinsip dalam teologi, yaitu soal jenis perbuatan manusia yang dinilai syariat.<br />
<br />
Lain halnya dengan ilham, Ibnu Sina tetap membicarakannya meski dalam bahasa yang berbeda. Sebab filsafat membicarakan tentang entitas yang lebih tinggi yang menyebabkan akal manusia bergerak dari potensialitas menuju aktualitas. Entitas tersebut adalah intelek aktif yang ia padankan dengan malaikat, meskipun para filsuf Yunani sendiri tidak pernah membicarakan malaikat.<br />
<br />
Khawatir juga menjadi pembeda antara pengaruh filsafat dan tasawuf dalam Ihya’ Ulumiddin, tepatnya <i>khawatir </i>buruk atau <i>waswas</i>. Sebab Ibnu Sina dan para filsuf secara umum tidak menyebut setan dalam teori moral dan jiwa mereka. Ibnu Sina dalam Isyarat wa al-Tanbihat meskipun berbicara tentang tasawuf, namun tetap konsisten menggunakan istilah-istilah filosofis. Dalam persoalan ini perbedaan antara al-Ghazali dan Ibnu Sina tidak lagi berada pada tataran semantik belaka.<br />
<br />
Memang gaya bahasa al-Ghazali terlihat kontras dengan Ibnu Sina. Bila Ibnu Sina sengaja menggunakan istilah filsafat agar ilmu tersebut tidak dipelajari oleh orang yang belum terlatih dalam tradisi filsafat, al-Ghazali membahasakannya dengan lebih sederhana dalam Ihya. Hal ini terkait dengan peran al-Ghazali sebagai pendidik dan dai. Al-Ghazali berkepentingan agar ilmu tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, terutama ilmu <i>mu’amalah</i>, yang berkaitan dengan tindakan praktis. Namun al-Ghazali membahas ilmu <i>mukasyafah </i>di buku lain, sebab menurutnya ilmu tersebut tidak cocok bila disampaikan kepada khalayak umum. Hanya saja konon buku yang berjudul al-Madlnun min Ghairi Ahliha itu belum ditemukan hingga sekarang.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-67424692881970335572017-08-14T09:22:00.000+07:002019-04-24T13:56:19.794+07:00Makna Qalb, Ruh, Nafs dan 'AqlSebelum membahas cara mendidik jiwa dan menaklukkan nafsu dalam <i>Ihya' Ulumiddin</i>, al-Ghazali [semoga Allah merahmati beliau] terlebih dahulu memberikan penjelasan makna dari istilah hati (<i>qalb</i>), nafsu (<i>nafs</i>), ruh (<i>ruh</i>) dan akal (<i>'aql</i>). Pasalnya makna dari keempat istilah itu berdekatan dan kerap dicampuradukkan. Tepatnya, istilah-istilah tadi berhubungan dengan sisi tak terlihat dari manusia. Berbeda tentunya dari tangan, kaki, dan anggota fisik atau tubuh yang tampak oleh mata dan dapat dibedakan dengan jelas.<br />
<br />
<b><i>Qalb</i></b>dalam bahasa Arab memiliki dua makna: secara fisik berarti jantung, sedangkan yang tak-kasat-mata berarti hati. Al-Ghazali menyatakan bahwa hati (<i>qalb</i>) merupakan alat berpikir dan tempat menerima pengetahuan, jadi lebih luas dari makna hati dalam pembicaraan sehari-hari yang hanya berkutat pada emosi dan perasaan. Sebab hati ibarat cermin yang menerima cahaya ilmu dan hikmah dari Allah. Tanpa hati tidak mungkin ada ilmu.<br />
<br />
Hati juga alat untuk mengambil keputusan dan menjadi pusat bagi kehendak manusia. Karena memungkinkan manusia untuk berpikir dan bertindak berdasarkan kehendak (<i>ikhtiyar</i>), maka hati membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan.<br />
<br />
Kata <b><i>Ruh </i></b>diserap dalam bahasa Indonesia, yaitu ruh, yang menyebabkan jasad dapat hidup. Al-Ghazali mengibaratkan jasad sebagai rumah dan ruh sebagai cahaya yang memenuhinya.<br />
<br />
<b><i>Nafs</i></b> memiliki dua makna: manusia sebagai keseluruhan (jiwa), dan yang kedua, nafsu. Pengertian <i>nafs</i> sebagai nafsu digunakan oleh al-Ghazali dalam pembahasan <i>Qalb </i>dalam <i>Ihya'</i>, tepatnya di bab <i>'Ajaib al-Qulub </i>(Keajaiban Hati) sebab akan berkaitan dengan cara penyucian hati dan mendidik jiwa (<i>riyadhat al-nafs</i>) yang dibahas dalam bab selanjutnya.<br />
<br />
<b><i>'Aql</i> </b>atau yang diterjemahkan sebagai akal, dalam bahasa Arab dapat bermakna objek yang di-<i>'aql</i>-kan/dipikirkan (ilmu). <i>'Aql </i>juga dapat bermakna subjek yang mengetahui. Dalam pengertian ini, <i>'aql</i> merupakan padanan kata <i>qalb</i>. Yang berbeda, pengetahuan akal menjangkau hal-hal yang rasional saja, sedangkan pengetahuan hati mencakup pengetahuan yang disebut ilham.<br />
<br />
Keempat istilah tersebut sebenarnya sebutan bagi satu hal yang sama, yaitu entitas tak-kasat-mata (<i>lathifah</i>) yang menjadikan jasad manusia hidup. Hanya saja, masing-masing istilah lebih menitikberatkan aspek tertentu dari <i>lathifah </i>tersebut sebagaimana dijelaskan dalam definisi di atas.<br />
<br />
Semoga bermanfaat.<br />
<i>Wallahu a'lam bisshawab.</i><br />
<br />
<br />
---<br />
<br />
<i>Disarikan dari Ihya' Ulumiddin karya Imam al-Ghazali bab 'Aja`ib al-Qalb.</i> nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-15841980656659128272016-11-15T00:30:00.000+07:002016-11-15T00:30:14.444+07:00Antara Filsafat dan Penyucian DiriSeperti biasa, setiap Sabtu pagi Syeikh Hasan al-Syafi’i mengajarkan kitab Syarh al-Mawaqif karya al-Jurjani (w.816 H). Kitab ini termasuk kitab ilmu kalam dengan pembahasan yang mendalam, dan oleh karena itu tidak diperuntukkan bagi pemula. Di kitab itu pembahasan kalam mulai berpadu dengan filsafat. Tak heran bila dari lima <i>mawaqif </i>(bab) yang dibahas, soal ketuhanan hanya dibahas di <i>mauqif </i>terakhir. Empat <i>mauqif </i>yang mendahuluinya membahas ilmu-ilmu seperti logika dan ilmu alam (kosmologi). Susunan ini berbeda dari kitab ilmu kalam periode-periode awal yang mengerucutkan pembahasan pada tema ketuhanan, kenabian dan <i>ghaibiyyat </i>(hal-hal ghaib seperti surga-neraka, hari perhitungan, dan semacamnya).<br /><br />
Sebelum masuk ke pembahasan Syarh al-Mawaqif, Syeikh Hasan al-Syafi’i terlebih dahulu membahas kitab al-Syama’il al-Muhammadiyyah karya al-Tirmidzi. Isinya hadits-hadits tentang perilaku Nabi SAW sehari-hari yang dapat kita contoh, mulai dari bagaimana Rasulullah SAW menggunakan sandal sampai cara beliau berjalan. Usai menjelaskan teladan-teladan itu, barulah Syeikh Hasan menjabarkan dan mengurai detail persoalan kalam dengan piawai.<br /><br />
Di tangan Syeikh Hasan, ilmu kalam yang mengandalkan rasio menjadi tidak terasa “kering”. Ada nuansa yang menyejukkan saat pengajaran itu dilakukan di salah satu ruangan dalam masjid al-Azhar—biasa disebut <i>ruwaq</i>. Pengajian yang selalu didahului dengan mengenalkan pribadi Rasulullah SAW juga membuat murid-muridnya merasa damai. Apalagi para ulama memiliki aura yang berbeda. Entah, sulit memang untuk menggambarkannya dengan kata. Pertemuan langsung dengan mereka benar-benar menenangkan hati.<br /><br />
Aura itu, nuansa yang tercipta, serta suasana damai itu tak terlupakan. Selalu ada kerinduan yang membuncah setiap kali mendengar wejangan, komentar di televisi, atau menyimak video pengajian beliau. Tapi tak ada yang dapat menggantikan pertemuan langsung dengan para ulama.<br />
<br />Mereka adalah orang-orang yang berilmu sekaligus pribadi-pribadi yang menyucikan diri.<br /><br />
Kerinduan itu kembali menyeruak tatkala membaca pengantar Mulla Sadra dalam kitabnya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah. Nama yang disebut terakhir tadi termasuk filsuf muslim terbesar yang hidup setelah Ibnu Rusyd. Gagasannya menggabungkan antara kalam, filsafat dan tasawuf. Baginya ketiga disiplin itu saling mengisi. Saat membuka kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah (<i>Trancendental Philosophy</i>) yang menjadi landasan rasional bagi filsafatnya, Mulla Sadra menasehatkan:<br /><br />
“Sebelum membaca kitab ini, mulailah dengan menyucikan dirimu dari hawa nafsu. ‘Beruntunglah sesiapa yang menyucikannya dan merugilah sesiapa yang menodainya’.* Dan mapankanlah terlebih dahulu pondasi keilmuan dan hikmah, baru kemudian sempurnakan bangunan di atasnya.”<br /><br />
Penyucian jiwa, sebagaimana yang dipraktekkan oleh para sufi, ditempuh melalui laku batin dan lahir; melewati tahapan-tahapan spiritual dengan amal; menaklukkan hawa nafsu dan mencapai jiwa yang tenang (<i>al-nafs al-muthma’innah</i>). Sisi amaliyah itu saling menyempurnakan dengan ilmu yang didapat melalui penalaran.<br /><br />
Dalam tradisi keilmuan Islam, jalinan harmonis antara teori-praktek, rasional-spiritual, gagasan-perilaku, adalah keniscayaan yang bersumber dari pokok ajaran Islam sendiri.<i> </i><br />
<br />
<i>Wallahu a'lam bishawab. </i><br />
<br />
<i>*Mulla Sadra mengutip surat al-Syams ayat 8-9.</i>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-64625359852903048732016-10-19T19:43:00.000+07:002016-10-19T19:43:08.277+07:00NUHDi tempat itu<br />
aku menumpuk batu<br />
<br />
satu<br />
per satu<br />
<br />
Mereka tertawa<br />
<br />
Namun aku<br />
menyusun batu<br />
<br />
satu<br />
per satunggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-82691759675292207102016-10-16T14:30:00.001+07:002016-10-19T16:08:06.010+07:00Filsafat dan Islam di Ranah Sosial<i>Lanjutan tulisan sebelumnya mengenai <a href="http://nggapriel.blogspot.co.id/2016/10/kontroversi-filsafat-di-dunia-islam.html" target="_blank">kontroversi filsafat di dunia Islam</a>.</i><br />
<br />
Saat ini filsafat telah berkembang. Pembahasan metafisika yang menjadi akar pertentangannya dengan agama mulai ditinggal lantaran dianggap tidak relevan untuk dibahas. Filsafat analitik menyebutnya sebagai sesuatu yang tak bermakna. Karl Raimund Popper menolaknya sebab metafisika tak dapat difalsifikasi.<br />
<br />
Satu per satu bagian dari filsafat mulai memisahkan diri dan merumuskan metode. Disiplin ilmu baru bermunculan. Tugas untuk meneliti alam diambil alih oleh fisika, astronomi. Tentang manusia secara fisik, biologi dan kedokteran menanganinya. Sedang soal kejiwaan dibicarakan dalam psikologi dan ilmu-ilmu yang serumpun. Stephen Hawking sampai mempertanyakan fungsi filsafat dalam bukunya The Brief History of Time: Apa yang tersisa bagi filsafat?<br />
<br />
Franz-Magnis Suseno dalam Filsafat sebagai Ilmu Kritis mengetengahkan problem serupa. Ia menunjukkan adanya pergeseran tema-tema filsafat ke arah sosial. Filsafat kini berfungsi emansipatoris, sebagai kritik atas ketidakadilan dalam berbagai perwujudannya.<br />
<br />
Dengan perkembangan terakhir ini, rasa-rasanya pertentangan antara filsafat dan agama lebih mudah ditengahi. Maksudnya perdebatan antara filsafat dan agama akan terus ada dan akan terus berlanjut hingga entah kapan. Tapi dengan adanya titik berat perhatian terhadap ranah sosial, agaknya filsafat dan agama lebih mudah dipertemukan. Ada prinsip-prinsip dasar yang mungkin disepakati, misalnya tentang keadilan.<br />
<br />
Salah satu misi Islam hadir adalah untuk menegakkan keadilan. Perempuan mulai diberikan hak dalam harta waris, berbeda dari tradisi Quraisy jahiliyah (baca: pra-Islam). Islam mengecam pembunuhan bayi perempuan. Dan walaupun tidak secara langsung melarang perbudakan karena kuatnya tradisi Quraisy waktu itu, dalam fikih dapat ditemui perintah untuk membebaskan budak sebagai salah satu bentuk kafarat; tebusan atas pelanggaran hukum. Sebaliknya, sepengetahuan pribadi saya, tidak ditemukan perintah atau anjuran untuk memperbudak orang lain. Islam menyediakan pintu keluar dari perbudakan dan menutup pintu masuknya.<br />
<br />
Hal lain yang menunjukkan adanya semangat egalitarian dalam Islam adalah pengakuan terhadap berbagai suku dan warna kulit sebagai manusia yang setara. Al-Quran menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal. Nabi SAW mencela orang yang merendahkan Bilal RA semata-mata karena warna kulitnya. Pembeda yang hakiki adalah derajat ketakwaan.<br />
<br />
Contoh terakhir di sini adalah kepedulian Islam terhadap golongan yang tidak mampu secara finansial. Kewajiban untuk mengeluarkan zakat menegaskan hal itu. Surat al-Ma’un bahkan menisbatkan sebutan ‘Pendusta Agama’ kepada orang-orang yang bersikap kasar terhadap anak yatim serta tak mau berbagi dengan orang miskin. Keduanya adalah contoh dari golongan yang tidak mampu.<br />
<br />
Namun harus diakui pula, perbedaan antara Islam dan filsafat tetaplah ada. Misalnya, keberpihakan Islam terhadap golongan yang lemah (<i>dhu’afa</i>) dan golongan yang sengaja dilemahkan oleh sistem (<i>mustadh’afin</i>) berorientasi untuk menghapuskan kezhaliman dan menegakkan keadilan. Jadi bukan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam memahaminya demikian.<br />
<br />
Perbedaan lain adalah soal tujuan. Perubahan sosial yang didorong oleh Islam memiliki tujuan, arah, dan cita-cita yang digariskan oleh wahyu. Sebagaimana deklarasi Rasulullah SAW, misi pengutusan beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak.<br />
<br />
Sisi detail ketentuan moral atau akhlak ini yang masih menjadi perdebatan antara Islam dan filsafat. Katakanlah, apakah pembelaan Islam terhadap golongan yang lemah juga mencakup izin untuk melakukan pernikahan sesama jenis? Sebab dalam al-Quran terdapat kecaman bagi orang-orang yang melakukan hubungan sesama jenis.<br />
<br />
Memang banyak pendapat yang muncul dan tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk menjawab hal tersebut. Akan tetapi, betapapun filsafat dan Islam berbeda, antara keduanya tetap ada bidang yang saling beririsan; tema atau isu yang dapat dibicarakan bersama, terutama di bidang sosial.<br />
<br />
<i>Wallahu a’lam bisshawab.</i>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-40134874106749699302016-10-15T20:19:00.002+07:002016-10-19T16:07:20.416+07:00Kontroversi Filsafat di Dunia IslamSejak pertama kali filsafat dikenal di dunia Islam, muncul berbagai kontroversi tentangnya. Tak tanggung-tanggung, Imam Syafi’i (150-205 H) mengatakan barangsiapa yang belajar Mantiq (yang dimaksud adalah Logika Formal Aristotelian) telah menjadi zindik.<br />
<br />
Bila ditilik dari sejarah, persentuhan resmi umat Islam dengan ilmu-ilmu dari Yunani sudah dimulai sejak pertengahan abad kedua Hijriyah. Khalifah Ja’far al-Manshur dari Bani Abbasiyah (memerintah tahun 136-158 H) menitahkan penerjemahan buku-buku Yunani ke bahasa Arab. Ilmu yang diterjemahkan adalah filsafat, ilmu falak atau astronomi dan kedokteran.<br />
<br />
Dapat dikatakan waktu tersebut masih tidak terpaut jauh dari wafatnya Rasulullah SAW. Imam Syafi’i yang hidup di abad itu masih tergolong generasi tabi'ut tabi’in. Selama itu mereka mengimani bahwa al-Quran dan hadits adalah petunjuk kehidupan. Lalu untuk apa berfilsafat?<br />
<br />
Namun disukai ataupun tidak, ketegangan antara agama dan filsafat menjadi salah satu latar belakang perkembangan berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Misalnya munculnya aliran Muktazilah dan Asyariyah dalam ilmu Kalam. Keduanya berupaya untuk mempertahankan tauhid lewat argumen rasional, lebih tepatnya ‘meminjam’ beberapa bagian dari filsafat Yunani dengan disertai penyesuaian dengan ajaran tauhid. Pada periode berikutnya, ilmu Mantiq diintegrasikan ke dalam ilmu Ushul Fikih oleh Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa. Tema-tema yang pada asalnya adalah pembahasan Kalam tersisip dalam disiplin ilmu lain, seperti problem <i>tahsin wa taqbih </i>dalam Ushul Fikih.<br />
<br />
Imam Ghazali yang dikenal di dunia filsafat dengan kritik tajamnya terhadap Ibnu Sina dalam Tahafut al-Falasifah ternyata tidak menggeneralisir bahwa semua filsafat itu buruk dan harus ditolak. Di zamannya ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang. Banyak yang masih berada di rahim filsafat. Seperti yang dikatakan Will Durant, filsafat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang mendarat di pantai, meretas daratan, lalu disusul oleh pasukan infanteri, yaitu ilmu pengetahuan. Ilmu kejiwaan atau psikologi masih dibahas melalui kategori-kategori jiwa ala Aristoteles, Plotinus, atau melalui perspektif sufistik. Ilmu ekonomi dan politik juga masih tercakup dalam filsafat.<br />
<br />
Ilmu-ilmu tersebut tidak dikritik oleh Imam Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dhalal sebab tidak terkait secara langsung dengan agama. Ilmu alam (<i>thabi’iyyat</i>) yang menjadi cikal-bakal fisika, biologi, dll. dikritik dari sisi munculnya pemahaman bahwa alam ini kekal dan tak berawal. Selain bagian itu tidak bermasalah. Sedangkan yang secara terang-terangan ditolak adalah pembahasan filosofis mengenai ketuhanan lantaran banyak yang kesimpulannya bertentangan dengan wahyu.<br />
<br />
Dari sikap Imam Ghazali dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat dapat diterima atau ditolak berdasarkan kesesuaiannya dengan ajaran Islam, dengan menguji kandungan perkaranya, sehingga tidak terjebak pada generalisasi buta.<br />
<br />
Kesimpulan di atas menyiratkan bahwa filsafat ditundukkan di bawah agama. Suatu hal yang ditolak oleh para filsuf yang mengagungkan kebenaran rasio. Ibnu Rusyd kemudian mengkritik balik Imam Ghazali dalam Tahafut al-Tahafut dan menegaskan dalam Fashl al-Maqal bahwa kebenaran wahyu dan filsafat (Ibnu Rusyd menyebutnya <i>al-hikmah</i>) tidak mungkin bertentangan sebab kebenaran adalah tunggal berasal dari Allah SWT. Namun meskipun demikian, kekaguman Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles juga menyisakan tanda tanya, seperti pemahamannya terhadap mukjizat atau kesimpulannya tentang adanya kesatuan intelek.<br />
<br />
Perdebatan antara wahyu dan filsafat di dunia Islam sebenarnya melibatkan jauh lebih banyak tokoh dan variasi pemikiran yang tak mungkin dijabarkan dalam tulisan singkat ini. Namun agaknya, menurut hemat saya, perdebatan tersebut secara garis besar dapat dipahami sebagai upaya untuk merumuskan hubungan yang tepat antara wahyu dan filsafat, serta menentukan porsi yang tepat bagi keduanya.<br />
<br />
Berpegang pada filsafat saja akan terbentur pada keterbatasan rasio. Dan di sisi lain, al-Quran telah selesai diturunkan kepada Nabi terakhir, sedangkan umat Islam akan terus dihadapkan pada situasi baru.<br />
<br />
<i>Wallahu a’lam bis shawab.</i>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-39454019461570340942016-10-15T15:46:00.000+07:002016-10-15T21:52:28.607+07:00Menuntaskan JawabanMasa depan adalah perkara ghaib. Tidak ada satupun manusia yang dapat mengetahuinya dengan pasti. Tidak pula prakiraan-prakiraan saintifik dengan asumsi determinisme mampu mencapai keniscayaan. Di balik batas itu, segala misteri adalah milik-Nya.<br />
<br />
Pengetahuan kita menjadi keniscayaan setelah ia terjadi. Detik yang telah berlalu tak mungkin kembali. Batu yang telah diukir tak dapat dilebur lagi seperti tanah liat. Kala itu, kita baru paham apa itu takdir.<br />
<br />
Dan batu-batu yang menyusun diri kita tidak mungkin dimusnahkan begitu saja. Itu sama saja halnya dengan menyangkal diri sendiri. Kita tidak mungkin lari dari diri kita sendiri.<br />
<br />
Keberadaan kita tidak didefinisikan dengan fisik, tapi apa yang kita perbuat. Kehidupan adalah kumpulan peristiwa-peristiwa. Gerak, kata Iqbal. Apa yang telah kita perbuat, apa yang telah kita lalui, itulah yang membentuk diri kita saat ini. Itu yang mendefinisikan siapa kita, meski tidak mutlak.<br />
<br />
Sebab manusia sebagai makhluk yang berkehendak selalu memiliki pilihan.<br />
<br />
Kekinian adalah pilihan atas masa lalu demi masa depan. Masa depan akan terbangun bila kita telah tuntas menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang tercecer di waktu lampau. Bayang-bayang ketakutan, trauma, atau nyeri, menghalau kita dari mencari jawaban. Tapi selagi ia belum ditemukan, pertanyaan-pertanyaan itu akan terus memburu dan menghantui.<br />
<br />
Ia mempertemukan kita dengan pertanyaan, bukan agar kita lari, tapi untuk menuntaskan jawabannya. Agar kita belajar memahami kebijaksanaan-Nya dan membesarkan jiwa kita.<br />
<br />
<i>* Inspired by Paulo Coelho, </i>The Fifth Mountain.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-38742600055325543742016-10-15T15:38:00.000+07:002016-10-15T21:52:49.654+07:00Dalam DiamBisu adalah guru<br />
mengajarkan kejujuran laku<br />
bukan kata-kata palsu<br />
<br />
Sunyi bijak bestari<br />
menyadarkan kefanaan diri<br />
menuju yang-sejati<br />
<br />
Dan<br />
di tengah lelap keheningan<br />
engkau terjaga
nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-14649494216403567792016-10-15T14:26:00.000+07:002016-10-15T21:53:09.244+07:00Tentang Catatan HarianJauh dari kesan bahwa catatan harian adalah tempat curhat yang identik dengan perempuan dan hal-hal cengeng, ternyata banyak tokoh yang menulis catatan harian.<br />
<br />
Di antaranya adalah Ahmad Wahib. Terlepas dari perdebatan soal pemikirannya, Catatan Harian Ahmad Wahib dicetak menjadi potret pergumulannya dengan rasionalitas dan ortodoksi agama. Gabriel Marcell, seorang filsuf eksistensialis, juga menuliskan perkembangan pemikiran filosofisnya dalam bentuk catatan harian, yang akhirnya diterbitkan dengan judul Being and Having. Peletak dasar psikologi analitis, Carl Gustav Jung, mencatat pengalaman psikologisnya dalam The Red Book yang kemudian menjadi salah satu sumber utama dalam menelusuri ide-idenya.<br />
<br />
Secara garis besar, setiap orang memiliki buah pikiran dan emosi. Peristiwa, orang, ruang dan waktu memantik kilatan ide, yang bila tidak segera diikat dengan tulisan, akan lenyap. Waktu dialami secara linier; lurus dan satu arah, oleh karena itu, peristiwa yang sama tidak dapat diharapkan untuk terjadi lagi dan memicu gagasan yang sama.<br />
<br />
Itulah sebab mengapa Shaidul Khathir ditulis oleh Ibnul Jauzi. Dalam pengantarnya, beliau bilang tidak ingin kehilangan ide-ide itu. Sementara judul buku itu sendiri, Shaidul Khatir, berarti berburu lintasan pikiran. Jadi wajar bila isinya berupa tulisan-tulisan singkat, lebih mirip dokumentasi buah pikiran yang berisi nasehat untuk dirinya sendiri.<br />
<br />
Manfaat lain, menulis catatan harian memberikan kesempatan untuk merenungkan kembali isi pikiran beserta penalarannya; sesuatu yang--harus diakui--memang tidak sesuai dengan budaya pengguna internet yang serba instan, cepat, dan ringkas. Di zaman sosial media ini, semua dituntut serba cepat dan instan. Status yang tertulis di dinding laman Mukabuku (:D) sebenarnya juga berasal dari kilatan pikiran. Tapi tuntutan zaman memaksa untuk menuliskannya dalam bentuk yang singkat. Misal lain, pengguna dituntut untuk berkicau; memadatkan pikiran hanya dalam 140 huruf. Ide tidak lagi dipaparkan melalui refleksi yang mendalam. Padahal pikiran itu, bila mau, dapat dikembangkan.<br />
<br />
Menulis catatan harian, menurut hemat saya, adalah salah satu cara untuk meredam kedangkalan semacam itu.<br />
<br />
Yang ketiga (niru gaya diktat kuliah Azhar, tiba-tiba langsung poin ketiga), membaca tulisan yang berisi ide pribadi, memberi kesempatan untuk menilainya dari sudut pandang orang lain. Jadi semacam cermin. Dengan demikian pula, memberi kesempatan untuk mengenali diri sendiri lebih jauh.<br />
<br />
Hal yang sama juga berlaku bila yang dituliskan adalah emosi. Selain sebagai ekspresi, tulisan tersebut juga dapat menjadi cermin yang membantu untuk menilai diri sendiri.<br />
<br />
Lebih jauh lagi, dengan kebebasan yang ditawarkan oleh catatan harian (privasi) dan dengan kejujuran, akan terbuka kesempatan untuk menelusuri sebab-sebab yang, tanpa disadari, melatari tindakan atau respon kita terhadap situasi tertentu.<br />
<br />
Pada mulanya, pikiran dan emosi bersifat abstrak. Tulisan dapat membantu untuk membuat keduanya lebih kongkrit. Sebab tulisan juga termasuk simbol.<br />
<br />
Pikiran bawah sadar saya kira lebih abstrak lagi. Ia terendap dalam lapisan-lapisan kesadaran yang tak terukur dan tak terhitung secara fisik. Dan tulisan dapat menolong untuk menyelami kedalaman yang dasarnya tak diketahui itu, yang barangkali juga, gelap.<br />
<br />
Di situ kita dapat menemui hal-hal yang tak terselesaikan di masa lampau, <i>the unresolved past</i>; hal-hal yang dengan susah payah ditekan, ditepikan, atau diabaikan. Saat itu tulisan dapat menjadi medan dialog dengan diri sendiri, memberikan pemahaman baru, sudut pandang lain, atau sekedar mendengarkan sisi diri yang selama ini dibungkam.<br />
<br />
Atau peluang lain--agar tidak terjebak pada pesimisme--di kedalaman itu kita dapat mengetahui bahwa diri kita tidak seburuk yang dibayangkan. Ada sisi yang perlu dihargai dan ditumbuhkan.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-38569212711624095342016-10-14T09:34:00.000+07:002016-10-16T15:28:19.269+07:00Di Balik Risalah AmmanMembaca Black Flags tulisan jurnalis Washington Post ini menarik. Sumbernya bukan melulu dari tautan/link di internet, tapi juga wawancara dengan tokoh-tokoh yang bersentuhan langsung dengan Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), mulai dari dokter penjara, para petinggi intelijen, duta besar, hingga kepala suku yang ada di Irak. Perjalanan ISIL pun diceritakan dengan berpangkal pada sosok Zarqawi yang dianggap sebagai pendiri ISIL, naik daunnya kelompok itu di Irak pasca Saddam, periode surutnya setelah Anbar Awakening, lalu menjalarnya Revolusi Arab (Arab Spring) ke Syria yang memberikan momentum baru bagi ISIL untuk bangkit.<br />
<br />
Di tengah-tengah narasi yang sarat dengan sudut pandang politik dan krisis Timur Tengah, ada satu frasa yang di luar dugaan ternyata disebut dalam buku ini, meski cuma sekali. Pasalnya, frasa itu lebih sering disebutkan dalam perdebatan teologis ketimbang dikait-kaitkan dengan politik, dan selama ini jarang yang mengulas konteks kelahirannya. Padahal tak kurang dari 200 tokoh Islam berpengaruh dari 50 negara ikut andil, termasuk almarhum Syeikh Muhammad Sayyid Thantawy, Syeikh Ali Jum’ah, Syeikh Ahmad Kuftaro, Syeikh Abdullah bin Bayyah, Syeikh Yusuf al-Qaradawi, dan Habib Ali al-Jufri. Frasa itu adalah Risalah Amman, alias The Amman Message.<br />
<br />
Di antara isi Risalah Amman adalah pengakuan terhadap delapan mazhab terkemuka sebagai bagian dari Islam, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, bersama dengan Ja’fariyah dan Zaidiyah (keduanya mazhab fikih Syiah), serta Ibadhiyah, dan Zhahiriyah. Poin lain adalah menolak pengkafiran terhadap kelompok yang mengakui keesaan Allah SWT, kenabian Rasulullah SAW, rukun iman, rukun Islam, atau pokok-pokok agama (<i>al-ma’lum min al-din bi dharurah</i>). <br />
(Lengkapnya ada di laman resmi, bisa diakses di http://ammanmessage.com/en/conferencesandsymposia.html [bahasa Inggris] atau di http://ammanmessage.com/ar/conferencesandsymposia.html [bahasa Arab])<br />
<br />
Risalah Amman dideklarasikan di Amman, ibukota Yordan, pada tahun 2005. Di saat yang sama, gejolak perang sipil bernuansa sektarian di Irak sedang menjadi-jadi. Menurut penulis buku, ISIL memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca jatuhnya Saddam Husein pada tahun 2003 untuk menciptakan kekacauan (chaos). Kalangan Syiah yang mengalami represi di rezim sebelumnya, mulai bangkit. ISIL kemudian meledakkan salah satu masjid tua di daerah Syiah, yang tak ayal memantik bentrokan berdarah antara kalangan Sunni dan Syiah di kota-kota lain. Dengan dibubarkannya militer Irak oleh Amerika Serikat (AS), praktis kontrol terhadap keamanan menjadi lemah. Ketidakstabilan keamanan ditambah dengan sentimen antar kelompok yang semakin tajam, menghambat upaya untuk membentuk pemerintahan baru. Dalam kekeruhan situasi tersebut, ISIL menemukan medium yang subur untuk berkembang.<br />
<br />
Raja Abdullah II selaku pemimpin Yordan mengkhawatirkan konflik yang membara di Irak akan menjalar ke daerah yang bersebelahan dengannya, seperti Suriah dan Yordan sendiri. Saat Revolusi Arab (Arab Spring) bergulir, Yordan dapat mempertahankan keutuhan negara, tapi tidak halnya dengan Syria. Konflik yang berlarut antara rakyat dan penguasa akhirnya ‘ditumpangi’ ISIL untuk membuka lembar baru setelah Irak. Meski akhirnya Yordania memutuskan untuk turun tangan dalam operasi militer setelah pengeboman di sebuah hotel yang sedang dipadati oleh warga sipil yang menghadiri pesta pernikahan.<br />
<br />
Sudah sejak awal Raja Abdullah II mewanti-wanti AS untuk tidak menyerang Irak. Ternyata dugaannya tepat. ISIL mendapat kekuatan dari reruntuhan rezim Saddam, berupa personel dan para punggawa militer. Tentunya selain sokongan dari Al-Qaeda, meski Al-Qaeda keberatan dengan cara yang digunakan oleh ISIL sebab dianggap terlampau ekstrim dan melanggar aturan peperangan dalam Islam, seperti membakar hidup-hidup seorang pilot AU Yordania dan menghancurkan jenazahnya. Ketidaksetujuan itu akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 2014, saat Al-Qaeda di bawah pimpinan Ayman al-Zawahiri memutuskan hubungan dengan ISIL.<br />
<br />
Keprihatinan Raja Abdullah II dipicu oleh ancaman keamanan yang mungkin ditimbulkan oleh ISIL terhadap warga Yordania, juga cara-cara yang digunakan oleh ISIL yang tidak merepresentasikan nilai-nilai keislaman. Untuk mengantisipasi perang fisik, kekuatan militer dapat diturunkan. Masalahnya ISIL bukan hanya terwakili dalam jasad-jasad manusia, melainkan juga sebuah ide. Mereka juga melandaskan perbuatannya pada penafsiran mereka atas ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Untuk itulah diperlukan semacam klarifikasi, pelurusan opini, bahwa Islam sebenarnya tidak brutal seperti yang ditampilkan oleh ISIL. Dan karena itulah lahir Risalah Amman.<br />
<br />
Jadi Risalah Amman bukan hanya himbauan terhadap dunia Islam secara umum agar tidak mudah menuduh sesama muslim sebagai kafir, atau agar umat Islam tidak mudah terjebak dalam konflik berlatarbelakang aliran. Lebih dari itu, dengan kehadiran 200 tokoh Islam yang otoritatif, Risalah Amman juga dapat dilihat sebagai upaya delegitimasi dasar-dasar teologis yang digunakan oleh ISIL untuk membenarkan ideologinya.<br />
<br />
<i>Wallahu a’lam bissawab</i>.nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-1063332800776935092016-06-11T12:46:00.000+07:002016-10-15T14:34:49.802+07:00Kesederhanaan HemingwaySetelah berlarut-larut membaca dunia Murakami dengan segala keanehan dan kekosongannya, novel Hemingway yang berjudul Lelaki Tua dan Laut tampak lebih sederhana dan mudah dicerna. Tak ada lagi adegan yang memaksa imajinasi berhenti seperti kucing hidup yang dibelah dadanya lalu jantungnya dimakan selagi berdetak, atau bocah bernama gagak yang tak jelas apakah ia nyata atau sekedar bayangan.<br />
<br />
Yang ada hanyalah seorang nelayan tua yang sedang memancing di laut. Ia berjuang untuk mendapatkan ikan pertamanya setelah delapan puluh tujuh hari berturut-turut pulang tanpa hasil. Orang-orang di desanya menganggapnya sebagai orang yang dikutuk dengan kesialan. Tak ada orang lain yang dikisahkan berdialog dengannya kecuali seorang anak muda yang selalu membantunya di daratan.<br />
<span id="fullpost"><br />
Deskripsi tentang sosok laki-laki tua membuka novel ini. Dialog dengan seorang anak muda lalu menyusul. Keduanya membicarakan ikan yang berhasil ditangkap, baseball, dan umpan untuk memancing. Semua terlihat biasa. Hingga keesokan harinya terjadi satu peristiwa yang membuat hari itu berbeda. Ada yang harus diperjuangkan mati-matian oleh sang nelayan tua.<br />
<br />
Hemingway menggambarkan perjalanan sosok itu dengan jelas dan lugas. Kalimat-kalimat pendek menjadi tulang punggung cerita. Nyaris tak ada kalimat majemuk. Terjemahan Sapardi membuat narasi novel ini mengalir begitu saja. Sehingga novel setebal seratus halaman ini dapat dibaca tuntas hanya dalam dua kali duduk.<br />
<br />
Namun kesederhanaan Hemingway amat berharga. Ia mendapatkan hadiah Pulitzer tahun 1953 berkat novel pendek ini. Gayanya minimalis tapi tetap mampu menyampaikan makna dengan cara yang memikat. Narasinya kuat dan padat. Pesannya pun dapat ditangkap dengan mudah.<br />
<br />
Hanya saja saya merasakan ada yang ‘ganjil’ dengan kesederhanaan kata-kata dalam buku ini. Bukan dalam artian negatif. Berbeda. Itu saja. Apakah kesan itu bawaan dari tulisan Hemingway, atau karena penerjemahnya adalah seorang Sapardi? Entahlah…<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
*** <br />
<br />
<i>“If a writer of prose knows enough of what he is writing about he may omit things that he knows and the reader, if the writer is writing truly enough, will have a feeling of those things as strongly as though the writer had stated them. The dignity of movement of an ice-berg is due to only one-eighth of it being above water. A writer who omits things because he does not know them only makes hollow places in his writing.”</i> ~ Ernest Hemingway (1899-1961)
</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-39030180083974208002016-06-08T08:29:00.001+07:002016-06-08T08:29:25.047+07:00Puasa yang Memanusiakan ManusiaBulan ini umat Islam kembali memasuki masa ritual penyucian jiwa yang bersifat tahunan, yang bila terlaksana dengan sempurna, akan mengantarkan manusia kepada fitrahnya. Fitrah juga dapat diartikan saat manusia dapat mengenali kembali kedudukannya yang asali dalam alam sebagai khalifah dan hubungan antara dirinya dengan Tuhan, yaitu sebagai hamba. Lalu apa hubungan puasa yang mengajarkan pengendalian diri dengan fitrah?<br />
<br />
Ibnu Sina, seorang filsuf muslim dan dokter legendaris di zamannya, membagi tingkatan jiwa menjadi tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa hewani, dan jiwa manusia. Tingkatan yang paling rendah adalah tumbuhan, lalu disusul hewan. Jiwa manusia menempati urutan tertinggi. Walaupun manusia, hewan dan tumbuhan mempunyai sifat dan derajat yang berbeda, ketiganya sama -sama memiliki dorongan untuk hidup dan berkembang biak, atau dorongan seksual, juga kebutuhan untuk makan dan minum.<br />
<br />
<span id="fullpost">Bila kemudian direnungi dan ditilik dari segi akhlak, selagi hidup manusia dikuasai dorongan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar itu semata, ia masih belum dapat membedakan dirinya dengan tumbuhan dan hewan. Ia belum menjadi manusia yang sebenarnya.<br /><br />
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Ghazali, teolog dan ulama multidisiplin yang digelari hujjatul Islam. Berangkat dari nilai-nilai yang diajarkan al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan-kecenderungan yang juga dimiliki oleh hewan. Ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan kecenderungan tersebut, akan menghempaskan manusia pada tingkatan hewan.<br /><br />
Keserakahan misalnya, adalah keinginan untuk memiliki yang tak terkontrol. Dalam keseharian, keserakahan dapat mewujud sebagai kecurangan dalam jual-beli ataupun pencurian. Atau bila dihubungkan dengan alam, keserakahan menampakkan dirinya sebagai eksploitasi atas alam tanpa tanggung jawab sebagai khalifah; orientasi pada profit tanpa mempertimbangkan kelangsungannya untuk generasi yang akan datang.<br /><br />
Lalu apa yang membedakan manusia dari makhluk hidup lain?<br /><br />
Ibnu Sina menyebutnya jiwa rasional, dengan akal sebagai alatnya. Keberadaan akal memungkinkan manusia untuk menimbang perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu wajar apabila manusia dibebani dengan aturan-aturan moral. Sementara Imam al-Ghazali menyatakan bila manusia dapat mengendalikan kecenderungan hewani dalam dirinya, ia mungkin mencapai derajat para malaikat, tentu seraya menetapi sifat-sifat kemanusiaannya. Sebab bagaimanapun juga, manusia harus makan dan minum, berbeda dari malaikat.<br /><br />
Namun pengendalian diri saja tidak cukup untuk mengantarkan kepada fitrah. Puasa dalam mazhab fikih mensyaratkan niat, yang bahkan oleh mazhab Syafi'i dianggap sebagai rukun. Niatlah yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi besar, antara wudhu dengan sekedar membasuh tangan dan kaki, juga antara diet dan puasa. Niat memberi makna baru pada pengendalian diri, bahwa ia dilakukan sebagai wujud pengakuan atas ketuhanan-Nya, sedang kepatuhan seorang hamba untuk berpuasa adalah bentuk kemauan untuk menundukkan ego diri di hadapan keagungan-Nya.<br /><br />
Dengan demikian, pengendalian diri yang diajarkan puasa menyelamatkan manusia dari tenggelam dalam sifat-sifat kebinatangannya. Tuhan telah menganugerahi manusia dengan posisi yang lebih istimewa. Di samping itu, sisi penghambaan dalam puasa mengingatkan manusia bahwa setinggi apapun derajat yang ia miliki di antara para makhluk, manusia tetaplah hamba-Nya, dan sudah sepatutnya menundukkan ego di hadapan perintah-Nya.<br /><br />
Wallahu a'lam bisshawab.
</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-88898709105755543652016-05-28T21:52:00.003+07:002016-05-28T21:52:42.819+07:00Percakapan Siang"Semakin banyak saya tahu, semakin terlihat bobroknya dunia ini," ujar pemuda itu di tengah-tengah obrolan kami. "Kebusukan yang terstruktur, saling bergantung, dan menjalar ke tempat-tempat tertinggi di dunia, yang kekuatannya tak pernah saya bayangkan sebelumnya."<br />
<br />
"Dunia masih sama dengan zaman sebelum pengetahuan modern mengucapkan janji-janji kemajuan. Watak manusia tak pernah benar-benar berubah. Korporat yang hanya berhasrat pada keuntungan, sementara dengan pongahnya merasa lebih tinggi dari alam--<i>pandangan yang diwariskan oleh masa kebangkitan</i>--dan manusia dari kelas sosial lain. Kemudian penjajahan yang masih saja berlanjut, yang sekarang tidak harus diiringi dengan ledakan mesiu, namun lewat lembaran kertas berangka. Serta sistem yang terbangun agar hegemoni tetap langgeng."<br />
<span id="fullpost">
<br />"Itu yang saya pelajari. Saya merasa seperti bidak catur yang tak berdaya. Pengetahuan kadang menyakitkan."<br /><br /><i>Ia ingin melawan dunia</i>. Waktu itu, batinku ingin menghiburnya bahwa apa yang ia lakukan nanti tidak sia-sia. Aku ingin berkata, "Setidaknya kita bisa mencegahnya dari keadaan yang lebih buruk." Atau menawarkan hal yang lebih masuk akal seperti, "Lebih fokus pada lingkungan di sekitar kita, dengan lebih mempedulikan orang-orang terdekat serta paling berharga." Tapi dua menit berlalu dan tak satu pun kata terucap dari mulutku.<br />
<br />
Pemuda yang duduk di kursi sebelahku itu mengingatkanku pada angsa yang sedang bermigrasi, tapi terhenti di tengah perjalanan untuk berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Atau seperti pengelana yang dihantam keraguan. Apakah perjalanannya benar-benar berarti? Mampukah ia mewujudkan impiannya? Untuk pertanyaan semacam itu, ia harus mencari jawabannya sendiri.<br />
<br />
Setidaknya Coelho benar. Sejak kecil kita didorong untuk bermimpi tentang masa depan. Entah sebagai insinyur, presiden, pilot, atau apa saja. <i>Gantungkan cita-citamu setinggi langit, </i>demikian kata mereka. Lalu begitu menginjak dewasa, kita belajar untuk menertawakan impian kita sendiri, seraya menyebutnya lugu, naif, atau lebih buruk lagi: mustahil.<br />
<br />
Mungkin saat bertemu dengannya lagi, aku akan meminjamkan kisah Coelho tentang Santiago kepadanya, sebagai pesan, yang jika diungkapkan dengan bahasa lisan akan berbunyi:</span><br />
<br />
<span id="fullpost">"Jangan patah semangat."</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-17317054468584069592016-05-07T18:39:00.000+07:002016-05-28T22:20:51.049+07:00Kafuka<i>“Dia kan digadang2kan Nobel sastra.
Tp g dpt2 wkwk”</i><br />
<br />
Itu jawaban yang aku dapat saat menanyakan Haruki Murakami. Di baris-baris sebelumnya ia mengatakan kalau Murakami lebih dekat ke sastra posmodern. <i>Sastra posmodern? Makanan apa itu? </i>o_0 Daripada memusingkan hal-hal seperti itu, aku memutuskan untuk langsung membaca novelnya saja, <i>Dunia Kafka</i>.<br />
<br />
Tokohnya bernama Kafuka Tamura. Nama yang asing untuk orang Jepang. Kafka sendiri diambil dari nama seorang sastrawan; seorang Yahudi Jerman yang menulis kisah tentang Gregor Samsa yang saat bangun tidur berubah menjadi seekor serangga raksasa o_0 Aku baru sadar, ternyata sepenggal dari novel Kafka yang berjudul <i>Metamorfosis </i>itu pernah aku baca sebelumnya di preview Google Fonts (nggak nyambung, red).<br />
<br />
<span id="fullpost">Aneh memang. Beberapa novel yang pernah aku baca berusaha menggambarkan keadaan sosial seakurat mungkin. Real. Sebagian lain menceritakan tokoh yang sangat ideal, nyaris tanpa cela, meski masih berada dalam batas-batas kemungkinan yang dapat diterima akal sehat. Tapi Kafka dan Murakami berbeda. Kalau Kafka mengubah manusia menjadi serangga, Murakami menuliskan hal-hal aneh seperti kakek-kakek yang bisa bicara dengan kucing, atau hujan makarel dan lintah o_0 Di beberapa bagian, Murakami seakan-akan mengaburkan batas antara mimpi, imajinasi dan kenyataan. Semuanya serba mungkin sehingga alurnya menjadi sukar ditebak.<br />
<br />
Kafka kabur dari rumahnya karena berusaha lari dari ‘ramalan’ ayahnya. Kutukan yang diilhami oleh kisah Oedipus Rex. Tokoh satunya lagi, Nakata, dikucilkan oleh keluarganya sebab dianggap ‘terbelakang’ secara mental. Yang menjadi persamaan antara keduanya adalah keterasingan. Nyaris setiap pemain utama dalam novel ini adalah seorang yang menjalani hidupnya sendirian, atau terasing sebab dirinya ‘berbeda’ dari orang pada umumnya. Entah karena sifat bawaan, kecelakaan, atau trauma.<br />
<br />
Kafka dapat menikmati keterasingan tersebut, meski pada suatu titik, ia berpikir telah mengingkari dirinya sendiri. Sampai di penggalan itu aku tercenung. Kebebasan yang hanya dimaknai sebagai penyangkalan (negasi) akan melahirkan ketiadaan mutlak; kosong dan hampa. Kebebasan, mau tidak mau, juga harus bermakna positif: kebebasan untuk melakukan sesuatu. Tapi dengan itu pula, kebebasan telah mengambil bentuk, dan terdefinisikan.<br />
<br />
Beberapa hal memang tak terdefinisikan di sini. Kafka yang begitu saja menentukan kota tujuannya, tanpa sebab dan alasan. Atau Nakata yang ingin menyeberangi jembatan untuk sampai ke tempat yang ia inginkan, tanpa tahu mengapa ia harus pergi ke sana, dan untuk apa. Jalani saja. Meski di beberapa tempat, ada yang mengisyaratkan tujuan. Tapi kesan secara umum, yang aku dapati, cukup pesimis dan ‘gelap’. Hidup tanpa tujuan agaknya seperti itu, sembari berusaha memaknai kematian.<br />
<br />
Banyak yang belum dapat kupahami dari novel ini. Maklum, hanya seorang pembaca, bukan penikmat sastra. Tapi mungkin justru itu. Meski tidak paham isinya dan tak tahu untuk apa, novel ini harus dibaca sampai selesai. Absurd memang.
</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-56776175492990762012015-10-10T18:48:00.003+07:002015-10-10T18:51:32.372+07:00Sisi Lain Film SuperheroOke, sekarang malam minggu. Selingan saja, mari bicara tentang film. Genre? Mmm, superhero. Oke? Oke.<br />
<br />
Holiwut sudah beberapa kali merilis film superhero, mulai dari Batman sampai Superman. Nah, ternyata di balik alur cerita masing-masing ada hal-hal lain yang menarik. Ini menurut saya belaka, lho, nggak ada paksaan untuk menolak, hehe.
Kita coba melihatnya dari sisi lain.<br />
<br />
<span id="fullpost">4. Superman<br />
Namanya Clark Kent. Konon segera setelah dilahirkan, ia dilarikan oleh orang tuanya dari kekacauan di planet Krypton. Clark Kent diburu sebab ia dilahirkan dengan cara normal. Lho, memangnya kenapa?<br />
<br />
Di Krypton ada satu fasilitas yang digunakan untuk ‘mencetak’ bayi-bayi lewat rekayasa genetik. Cara itu ditempuh untuk menentukan peran masing-masing bayi di masyarakat kelak. Jadi sejak mereka ‘dilahirkan’, nasib mereka telah ditentukan. Ada yang menjadi politisi. Ada yang menjadi pekerja, tentara, dsb.<br />
<br />
Sekilas ide itu mirip dengan kebijakan polis Sparta yang terkenal dengan kekuatan militernya di era Yunani Kuno. Bayi-bayi yang dilahirkan akan diseleksi dengan ketat untuk mendapatkan bayi yang sehat dan kuat. Mereka digadang-gadang menjadi prajurit terbaik. Tak heran bila akhirnya Sparta berhasil menguasai Athena, atau menahan serbuan bangsa Persia yang dipimpin oleh Xerxes (ingat film 300?).<br />
<br />
Tapi masalahnya, di Sparta masih ada bayi-bayi yang disisihkan sebab tidak memenuhi syarat sebagai tentara. Sementara di Krypton, keadaannya bisa jadi lebih ekstrim, tidak ada bayi yang terbuang sebab rekayasa genetik telah menjamin peran masing-masing.
Jadi saya menebak lebih jauh bahwa rekayasa genetik di film Superman adalah permisalan bagi pre-destinasi. <i>Takdir</i>.<br />
<br />
Orang tua Clark Kent memilih untuk melahirkan dengan normal, tidak lewat fasilitas di planet Krypton, sebab keduanya percaya bahwa sang anak punya hak untuk memilih masa depannya sendiri.
Jika digabungkan dengan tebakan saya sebelumnya, maka kelahiran normal Clark Kent adalah penolakan terhadap konsep pre-destinasi.<br />
<br />
Adegan lain yang agak menggelikan adalah saat Superman dengan tangan diborgol digiring tentara ke markas militer. Tentu saja, percuma memborgol Superman. Ia bisa lolos dengan mudah.<br />
<br />
Tapi bukan itu masalahnya.<br />
<br />
Borgol di pergelangan tangan Superman hanyalah isyarat bahwa manusia ingin mengontrolnya. Superman juga tahu, manusia takut terhadap hal yang tak dapat ia kontrol. Begitu Superman memutuskan rantai borgol di ruang interogasi, dan menunjukkan kelebihannya atas manusia biasa, pihak militer khawatir bila Superman suatu saat nanti akan berbalik memusuhi mereka.<br />
<br />
Dengan bahasa lain, kontrol adalah salah satu bentuk kuasa. Film ini menyiratkan bahwa salah satu naluri dasar manusia adalah kehendak untuk berkuasa.<br />
<br />
Superman secara harfiah memang berarti manusia super. Tapi kalau Superman dianggap sebagai istilah, kita akan teringat pada seseorang. Superman dalam bahasa Jerman adalah Übermensch. Ya, istilah itu dipakai oleh sang filsuf nihilis: Friedrich Nietzsche.<br />
<br />
Penolakan terhadap takdir, keinginan agar manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, naluri manusia untuk berkuasa, dan ketakutan mereka terhadap hal yang tak dapat dikontrol.<br />
<br />
Nah, sekarang pertanyaannya, apakah sebagian inspirasi film Superman benar diambil dari ide Nietzsche?<br />
<br />
3. Robocop<br />
<br />
Seorang polisi mengalami luka serius akibat ledakan bom yang dipasang di mobilnya. Tubuh Murphy, nama polisi itu, kemudian dicangkokkan ke dalam robot. Proyek polisi robot memang sedang dijalankan oleh pemerintah AS (dalam film itu) yang bekerja sama dengan perusahaan swasta.<br />
<br />
Murphy merasa terpukul saat mengetahui bahwa tubuhnya hancur. Dalam film, digambarkan saat itu bagian-bagian tubuh Robocop dipisahkan. Tangan, kaki, dan badan semuanya mesin. Organ manusia yang tersisa tinggal kepala-termasuk otak-, paru-paru dan jantung.<br />
<br />
Melihat adegan tersebut, di benak saya terlintas satu pertanyaan klasik: di manakah letak kesadaran manusia, emosi dan pikirannya? Atau mungkin lebih jelasnya, di organ mana?<br />
<br />
Dualitas jiwa dan badan sudah dibicarakan oleh Rene Descartes, tapi hubungan antara keduanya masih belum jelas. Apakah jiwa mempengaruhi badan, atau sebaliknya? Atau antara keduanya saling mempengaruhi, tapi bagaimana?<br />
<br />
Dalam bahasa al-Quran, sudah jelas, hakekat ruh bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Tuhan.<br />
<br />
Adegan menarik lain adalah saat Murphy mengecap rasa makanan, padahal ia tidak makan apa-apa. Peneliti yang mengurusnya hanya mengalirkan listrik ke area tertentu dalam otak. Apakah persepsi kita hanya berada di otak? Apakah dunia di luar kesadaran manusia hanyalah ilusi?<br />
<br />
Descartes nyaris terjebak dalam persoalan ini, dan dalam taraf tertentu, Harun Yahya juga. Tapi Descartes berkelit. Ia bilang kalau Tuhan tidak akan membiarkan setan menipu manusia dengan khayalan. Jadi dunia objektif itu ada. Tapi berkat itu pula, keberadaan dunia objektif menurut Descartes tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Tuhan atau Kesempurnaan Mutlak.<br />
<br />
Yang paling menarik di antara semua adegan film ini adalah saat Robocop ‘menyimpang’ dari misi yang telah diprogramkan di otaknya. Alih-alih menyelesaikan misi tersebut, ia malah berbalik memburu orang yang mencoba membunuhnya.
Konflik dalam pribadi Robocop tercipta sebab ia separuh robot dan separuh manusia. Robot hanya akan menjalankan apa yang telah diperintahkan dalam program. Tapi keputusan Murphy untuk menelusuri penjahat yang meledakkan mobilnya menunjukkan bahwa manusia dapat menentukan pilihannya sendiri. Itulah keistimewaan manusia. Manusia bukanlah robot.<br />
<br />
Secara singkat, tema besar film ini seolah terangkum dalam satu pertanyaan: <i>What does it mean to be human? </i> Apakah artinya menjadi manusia?<br />
<br />
<br />
2. Spiderman<br />
<br />
Dibandingkan tokoh superhero lain, Spiderman paling kekanak-kanakan. Kisahnya bermula dari ketidaksengajaan Peter Parker menyelinap ke laboratorium. Seekor laba-laba yang teradiasi menggigitnya sehingga Parker berubah menjadi mutan.<br />
<br />
Potongan dialog yang paling sering dikutip dalam serial ini adalah kata-kata paman Ben sebelum ia menghembuskan nafas terakhir: <i>“With great power, comes great responsibility”</i>. Kekuatan yang besar datang dengan tanggung jawab yang besar pula.<br />
<br />
Kata-kata tersebut cocok bila disandingkan dengan kekuatan Spiderman, meski di adegan lain juga diterapkan pada sosok Peter Parker.<br />
<br />
Yang pertama, Peter Parker terlambat mengantarkan pizza sehingga ia dipecat dari toko. Ia kehabisan waktu sebab menolong orang di tengah perjalanannya.<br />
<br />
Kedua, Ben Parker, nama paman Peter Parker, marah kepada Peter. Gara-gara Peter berkelahi di sekolah, paman Ben harus menghadap Bagian Penyuluhan dan terlambat menjemput istrinya. Padahal ia sudah berjanji. Paman Ben menuntut Parker untuk meminta maaf kepada sang bibi.<br />
<br />
Ketiga, Peter diberi pesan agar membeli telur untuk dibawa pulang selepas ia sekolah. Tapi Peter pulang larut malam tanpa membawa pesanan bibinya. Alasannya masih sama, menghadapi penjahat. Sang bibi yang malam itu terjaga untuk menunggu Peter pun merasa kecewa.
Namun pada akhir cerita, setelah mengalahkan musuh besarnya, Peter pulang ke rumah, memeluk bibinya sambil memberikan telur yang dipesan.<br />
<br />
Peter belajar untuk bertanggung jawab. Responsibility.<br />
<br />
Dan film superhero nomor satu adalah…<br />
<br />
Batman.<br />
<br />
Salah satu film hiburan yang kompleks, buat saya sih, hehe. Faktor yang paling menarik adalah karakter tokoh-tokohnya. Masing-masing punya latar belakang yang kuat. Meski dapat dibilang, nyaris semua penjahatnya menderita sakit jiwa.<br />
<br />
Joker, misalnya, punya trauma masa kecil. Ia menyaksikan konflik internal keluarga, termasuk kekerasan rumah tangga. Akhirnya berbuat jahat demi kejahatan itu sendiri. Two-face yang dikenal publik sebagai pengacara yang berkomitmen terhadap keadilan, ternyata punya ‘wajah’ lain sebagai penjahat. Kemudian Edward Nigma alias Riddler, orang jenius yang tak mampu menahan diri untuk mempertontonkan kepintarannya. Bruce sendiri memilih untuk menjadi Batman karena orang tuanya dibunuh oleh penjahat. Dan masih banyak lagi.<br />
<br />
Bagaimana Bruce Wayne menampakkan pribadi yang berbeda di hadapan publik, juga menarik untuk dilihat. Dalam satu dialognya, kalau tidak salah, ia berkata pada Selina, “Aku menyamar sebagai seorang milyuner yang playboy.” Jadi siapa diri yang sejati, Batman atau Bruce Wayne? Barangkali ada yang iseng membahasnya dengan psikologi analitik.<br />
<br />
Sementara itu, Batman mengenakan topeng supaya ia menjadi simbol. Siapa saja dapat menggantikan Bruce. Berbicara tentang topeng dan simbol, sama halnya dengan tokoh V dalam V for Vendetta. Topeng V adalah simbol dari sebuah ide. Manusia dapat dibunuh, katanya, tapi ide tidak. Sekali saja sebuah ide hinggap di pikiran manusia, ia tidak dapat dimusnahkan. Ide dapat menyebar layaknya virus.<br />
<br />
Topeng yang dikenakan V sebenarnya adalah topeng Guy Fawkes, sosok pemberontak dalam sejarah Inggris. Saat revolusi Mesir menggulingkan Mubarak beberapa waktu lalu, topeng ini juga dijual di jalan-jalan. Simbol perlawanan dan ide. Mungkin akibat kombinasi simbol dan ide pula, beberapa bulan lalu salah satu kawan saya bercerita bahwa masjid Rab’ah hingga waktu itu belum dapat digunakan. Entah bagaimana sekarang.<br />
<br />
Ah, oke. Kembali ke Batman.<br />
<br />
Berbeda dari superhero lain, Batman hanya manusia biasa. Ia melatih fisik dan kecerdasannya untuk menumpas penjahat. Karena itu ia dapat jatuh dan mungkin gagal. Tapi justru di situ kelebihannya. Ia selalu bangkit. Seperti kisahnya ketika melawan Bane.<br />
<br />
Saat Bruce masih kecil ia terperosok ke dalam gua yang kelak menjadi markas Batman. Ayahnya datang dan membawanya kembali ke atas, sembari berkata, <i>“Why do we fall, Bruce? So we can learn to pick ourselves up.”</i> Mengapa kita jatuh, Bruce? Supaya kita dapat berlatih untuk bangkit.<br />
<br />
Sebagai manusia biasa, kita mungkin jatuh dan mungkin salah. Tapi sebagai manusia pula, kita dapat bangkit dan belajar.<br />
<br />
---<br />
<br />
Nah, itu empat film superhero yang dipilih. Sebenarnya masih ada Iron Man, tapi saya tidak dapat banyak hal dari situ. Semoga Tony Stark yang jenius, kaya, egonya besar, narsis, dan suka pamer, tidak marah-marah, hehe.</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-80600699583542215212015-09-25T14:27:00.000+07:002015-09-25T14:27:45.678+07:00RasiAngkasa selalu mempesona di malam hari. Taburan bintang-bintang yang menyusun garis tengah bimasakti, the Milky Way, bulan yang malu-malu memantulkan sinar matahari, hingga tirai cahaya langit yang tak mungkin ditemui di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Aurora, meskipun aku baru dapat menyaksikan keindahannya lewat gambar, tampaknya akan sangat mengagumkan bila ia benar-benar terbentang di hadapan mata.<br />
<br />
Langit malam menyajikan berbagai teka-teki, juga menawarkan kedamaian. Barangkali seperti yang mungkin dioleh para Badui, atau umat manusia sebelum mengenal televisi. Dan malam ini, seakan kembali mengulang kebiasaan orang-orang kuno itu, kami beristirahat sembari menatap langit.<br />
<br />
“Kau lihat itu?” Jarinya menunjuk ke atas.<br />
<br />
“Ya, kenapa?”<br />
<br />
“Apa yang kau lihat?”<br />
<br />
“Bintang?” Jawabku tak yakin. Tidak mungkin ia bertanya tentang hal yang sudah jelas.<br />
<br />
“Bukan itu maksudku. APA yang sedang kau lihat?”<br />
<br />
“Mmm, oke… Titik-titik putih.”<br />
<br />
“Kau tahu itu. Tapi ada orang yang menyebutnya rasi.”<br />
<br />
Aquarius, Aries, Taurus, Scorpion, Gemini, aku tak hafal. Aku juga pernah mendengar orang menyebut Salib Selatan, atau Gubuk Penceng. Setiap daerah punya istilah masing-masing, yang juga berarti, zaman dahulu di mana saja orang memperhatikan langit.<br />
<br />
“Unik ya. Padahal bintang itu cuma berupa titik. Orang-orang dahulu bisa menarik garis yang menghubungkan titik-titik itu.”<br />
<br />
“Ya, bukan itu saja. Orang-orang Mesir kuno menggunakan rasi untuk meramal kapan akan terjadi banjir besar. Lalu mereka akan mempersiapkan tumbal untuk menenangkan dewa. Ada pula yang percaya, rasi menunjukkan watak dan karakter seseorang, bahkan nasib. Bagi mereka, titik-titik itu amat berarti.”<br />
<br />
<span id="fullpost">Orang-orang Arab yang berkelana di gurun hingga para pelaut yang berpetualang di samudera bergantung pada bintang untuk mengetahui arah. Tepatnya sebelum besi ajaib bernama magnet digunakan secara luas. Kebutuhan akan memahami letak bintang mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan membacanya, menandainya dengan nama, atau mengaitkannya dengan takdir. Orang-orang pra-modern menganggap diri mereka bagian tak terpisahkan dari alam.<br />
<br />
“Tapi kepercayaan semacam itu sudah tidak lagi dipegang oleh kebanyakan orang. Berhasilnya akal membangun teknologi telah menyingkirkan hal-hal yang tak mungkin dinalar.”<br />
<br />
“Ya, kau benar. Agama pun ada yang menghapus kepercayaan semacam itu dan menganggapnya sebagai takhayul. Sebab Tuhanlah satu-satunya Dzat yang berkuasa menentukan segala sesuatu di bumi.”<br />
<br />
“Agama? Misalnya?”<br />
<br />
“Islam. Ilmu astronomi yang tadinya dipelajari dari Yunani kemudian dipisahkan dari astrologi; ramalan-ramalan.” Lalu ia buru-buru menandaskan, “Tapi bukan perkara itu yang ingin aku katakan. Ada pelajaran yang mungkin bisa diambil dari mereka.”<br />
<br />
“Apa itu?”<br />
<br />
“Orang sepertimu pasti tahu istilah kosmos atau semesta. Alam adalah semesta yang agung, tempat Tuhan menyisipkan ‘jejak-jejak’-Nya. Kata ‘alam’ sendiri diserap dari bahasa Arab yang berarti ‘tanda’. Pun jangan lupa bahwa ada semesta lain yang lebih kecil, namun tak kalah rumit dan misterius: manusia.”<br />
<br />
Aku pernah menemui istilah itu. Alam sebagai semesta besar atau makrokosmos, sedangkan manusia adalah mikrokosmos. Dan keduanya sebagai kosmos adalah tanda. Orang-orang Arab menyebut semesta dengan kata ‘alam’, sebab bagi mereka seluruh isi semesta adalah tanda-tanda keberadaan-Nya. Tapi… “Jadi kau mau bilang kalau alam dan manusia itu sama? Kemudian bintang, titik, rasi? Aku tidak paham.”<br />
<br />
“Aku cuma mengandaikan kita sebagai musafir malam, menapaki lautan pasir yang seolah tak bertepi, di bawah kubah langit. Bagi kita, bintang adalah perumpamaan paling tepat untuk petunjuk.”<br />
<br />
“Ya, bintang sebagai petunjuk. Aku sudah mendengarnya berkali-kali. Rasul pun mengibaratkan sahabatnya sebagai bintang untuk generasi kita.”<br />
<br />
“Kau benar. Tapi yang kumaksud, bintang itu sendiri adalah tanda. Ia sama sekali tak berarti tanpa manusia, bahkan terkadang manusia pun tak menyadarinya. Musafir bisa tersesat.”<br />
<br />
Ia berhenti sejenak. Lalu sambil menoleh ia bertanya, “Bilakah sang musafir tersesat?”<br />
<br />
“Jika bintang itu tidak ada.”<br />
<br />
“Tepat. Atau jika bintang itu ‘lenyap’ meskipun ia ada.”<br />
<br />
“Maksudmu?”<br />
<br />
“Saat keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Misal, karena musafir itu tidak mampu membaca bintang.”<br />
<br />
“Ah iya, bagi orang yang tidak terlatih, bintang hanyalah titik-titik putih yang tak bermakna. Mereka tidak menarik garis seperti rasi, atau bisa jadi membuat garis secara acak. Barangkali mereka juga tak mengenal nama-nama bintang.”<br />
<br />
“Manusialah yang menafsirkan titik-titik itu,” ia menimpali. “Jika musafir itu kita, dan perjalanan sebagai metafora hidup ini, maka aku yakin dalam setiap kehidupan dan pengalaman pribadi masing-masing kita, terdapat bintang-bintang itu. Petunjuk, atau jejak-Nya.”<br />
<br />
“Apa yang kau maksud adalah kitab suci dan utusan-utusan-Nya?”<br />
<br />
“Bisa jadi, tapi mungkin juga lain. Ada kalanya kau merasa kalut, atau berprasangka bahwa Tuhan tidak pernah menuntunmu membuat pilihan-pilihan praktis, tentang situasi khusus yang kau hadapi, selain kaidah-kaidah umum yang tertera di kitab suci. Padahal Ia selalu ada dalam pengalaman pribadi kita, dan setiap kehidupan kita tak mungkin lepas dari-Nya.”<br />
<br />
“Kitalah yang tak mampu membaca titik-titik itu.”<br />
<br />
“Ya. Saat itu titik-titik putih itu tercerai-berai, tak satupun garis yang kita tarik mampu membuatnya dapat dimengerti. Atau barangkali yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila kita tak dapat melihatnya.”<br />
<br />
“Lalu apa yang harus aku lakukan jika momen itu tiba?”<br />
<br />
“Kenali sebabnya. Bisa jadi ego kita bersinar terlalu terang, menyilaukan mata dari cahaya lembut bintang. Kita lebih suka mendengar suara-suara kita sendiri, sibuk dengan keinginan dan hasrat yang menggebu. Kita tak lagi menyisihkan waktu untuk menyimak apa yang hendak disampaikan oleh Tuhan. Bintang-bintang itu selalu ada, kawan, tersebar dalam detik-detik yang kita lalui. Hanya saja mata kita sedang buta. Kita menulikan diri dari bisikan-bisikan ilahi.”<br />
<br />
<i>Redupkan nyalamu.</i><br />
<i>Rendahkan dirimu di hadapan-Nya.</i><br />
<i>Hanyutkan jiwamu dalam damai.</i></span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-950860794555226579.post-38482910748866315982015-05-23T04:49:00.000+07:002015-05-23T04:49:07.006+07:00Antara “Aku” dan “Saya”Sepertinya tidak ada perbedaan jauh antara kata “saya” dan “aku”. Keduanya menunjuk hal yang sama, yaitu diri orang yang sedang berbicara. Tapi dua kata tadi amat jelas berbeda, bukan dalam arti, tapi cara penggunaannya. Aku tak tahu persis, sebab bahasa bukan bidangku. Di blog ini saja, ada posting yang memakai “aku” sebagai kata ganti orang pertama. Kadang-kadang dapat ditemui kata “saya”.<br/>
<br/>
Yang aku pahami, kata “saya” digunakan untuk membicarakan diri sendiri di hadapan orang lain. Dengan kata lain, yang menjadi objek pembicaraan adalah diri sendiri. Cara berbicara yang demikian membuat orang yang berbicara terlihat lebih sopan. Sebab ia terlihat sedang merendah. Ia mendudukkan dirinya sendiri sebagai objek.<br/><br/>
<span id="fullpost">
Kata “aku” berkesan lebih angkuh. Sebab dengan kata tersebut, pembicara mendudukkan dirinya bukan sebagai objek yang dibicarakan, melainkan sebagai subjek yang berbicara, sementara lawan bicaranya harus mendengarkan. Barangkali karena itu, kata “aku” lebih sering digunakan ketika berbicara dengan diri sendiri. Rasanya justru aneh bila kata “saya” yang digunakan untuk berbicara dengan diri sendiri. Seolah-olah ada jarak yang memisahkan antara pembicara dengan dirinya sendiri, padahal tidak ada tuntutan sosial yang mengharuskannya berlaku demikian.<br/>
<br/>
Saat menggunakan kata “saya”, seolah-olah pembicara sedang mengemas dirinya dalam sebuah kesan, dan ia ingin lawan bicara menilainya lewat kesan itu. Kata “aku” lebih memungkinkan pembicara untuk membicarakan dirinya sendiri sebagaimana ia berbicara kepada dirinya sendiri, bukan saat ada orang lain yang akan menilai dirinya. Jadi lebih sedikit tekanan atas diri pembicara untuk menyesuaikan dengan harapan dari dunia luar. Sehingga kata “aku” juga terkesan lebih bebas.<br/>
<br/>
Ketika ada orang yang menggunakan kata “saya” saat berbicara, berarti lawan bicaranya sedang berdiri di luar batas-batas kehidupan pribadi sang pembicara. Lawan bicaranya sedang didudukkan dalam dunia yang obyektif dan disuguhi fakta-fakta “remeh”. Bukan “remeh” karena tidak penting, tapi informasi tersebut dapat diberikan begitu saja kepada semua orang yang berada dalam lingkaran pergaulan terluar dari sang pembicara.<br/>
<br/>
Sementara dunia obyektif di sini tidak merujuk pada alam di luar diri manusia dan sama sekali lepas dari keberadaannya, tapi mengisyaratkan pada hal-hal yang menjadi irisan antar dunia subyektif masing-masing individu, atau lebih tepatnya: dunia intersubyektif. Pembicara dapat berkomentar tentang warna merah dari selembar kelopak bunga kepada siapa saja yang dapat menyaksikannya.<br/>
<br/>
Berbeda dari kata “saya” yang terkesan resmi dan superfisial, kata “aku” seolah-olah mengajak lawan bicara untuk menyelami sisi terdalam dari pribadi pembicara. Penggunaan kata “aku” berarti ajakan pembicara kepada lawan bicara untuk mengetahui pengalaman-pengalaman pribadi yang tak diungkapkan kecuali kepada mereka yang berada dalam lingkaran pergaulan terdekat. Informasi ini biasanya sangat berharga, terutama bagi pribadi pembicara. Pada mode ini, pembicara dapat meluapkan kepada orang lain makna selembar kelopak bunga tadi bagi dirinya. Selamat datang di dunia subyektif sang pembicara. Pada kesempatan lain, kata “aku” juga dapat digunakan untuk membongkar sekat yang—hingga saat itu—terbangun antara pembicara dan lawan bicaranya. Dengan demikian keduanya dapat berbicara dengan lebih leluasa, terbuka dan apa adanya.<br/>
<br/>
Yang terakhir, jika kata “saya” menggambarkan gagasan yang telah dikemas oleh pembicara, maka kata “aku” membuka peluang bagi lawan bicara untuk secara langsung “menyentuh” gagasan di pikiran pembicara dalam bentuk yang paling mentah. Lawan bicara bahkan dapat mengikuti alur pemikiran pembicara selangkah demi selangkah, sehingga lebih mudah dipahami.<br/>
<br/>
Barangkali yang perlu aku insyafi, tidak semua orang menggunakannya dengan cara yang aku tuliskan. Lagipula ini cuma persepsiku belaka. Ya, aku.
</span>nggaprielhttp://www.blogger.com/profile/04953536757823774757noreply@blogger.com