Ashir Mangga itu masih menunggu untuk dihabiskan. Sabar, batinku. Temani aku barang sebentar, mengantar matahari kembali ke barat. Apakah ia yang meninggalkan aku, atau bumi yang berlari memaksaku. Nisbi, katanya. Namun lengkung jarak itu kian merenggang, dan menjadi keniscayaan yang tak lagi mampu ku rengkuh. Seolah-olah jemari gaib datang lalu menggurat lingkaran yang mengungkungku.
Batas.
Bintang muda itu perlahan turun menyentuh cakrawala; mengakhiri hari pendek di akhir tahun yang membeku. Satu dari miliaran tahun yang telah ia lalui. Akhir yang menyisakan dingin dan kelam yang membekap bumi beserta makhluk-makhluk bodoh di atasnya. Adakah itu hukuman yang kau suguhkan, atau tamparan yang membangkitkanku dari kelalaian; bahwa hidup tak mungkin berlangsung tanpamu? bahwa kedigdayaan manusia tak sempurna?
Dingin hembusan angin, sebagai kenangan yang ia tinggalkan, membuatku menggigil; menyeretku kembali ke alam nyata. Satu teguk. Kemudian permukaan ashir itu pun merendah, meninggalkan seberkas garis kuning yang melingkar di atasnya.
Batas.
Suq Sayyarah tak seramai biasanya. Musim ujian. Dingin mungkin tak dihiraukan karenanya. Ada tujuan di sana. Tujuan yang membuat kulit mereka mati rasa. Mereka memacu kuda sekencang mungkin, mengikuti alur yang telah digariskan. Namun apakah mereka pernah bertanya, apakah sebenarnya yang mereka lakukan itu ujian? Mengapa mereka melakukannya? Apakah alur yang telah mereka gariskan itu benar? Apakah tujuan yang mereka upayakan tepat? Ataukah sebaliknya, kacamata kuda telah menghalangi dan membatasi pandangan mereka?
Ujian itu bukan perkara menorehkan pena, menulis jawaban di kertas, atau membalas pertanyaan lisan dengan rapalan mantra. Ujian adalah pertanyaan besar kepada diri kita, akan hidup, masa depan dan akan kehendak-Nya...
Otakku terhempas di sana, seakan tertumbuk pada tabir. Lingkaran tadi, yang telah tergariskan. Suara tumbukan itu bergema, menyusun kata demi kata. Masa lalu adalah kepastian, masa depan adalah misteri. Masa lalu tak bisa kau rubah, sedang masa depan tak bisa kau pastikan...
Batas.
Manusia itu terbatas. Benarkah? Tidakkah engkau saksikan, bagaimana saat mereka berusaha untuk mengendalikan alam mereka; menggariskan masa depan yang pasti untuk mereka jalani. Entah mereka sedang dalam keadaan sadar, atau tidak. Mereka tidak rela kehilangan kuasa atas nasib mereka sendiri, tidak pada alam, tidak pula pada misteri takdir. Ketidakpastian, bagi mereka, adalah musuh yang harus dibungkam.
Namun suatu ketika, beban yang mereka panggul semakin berat. Harapan yang selama ini menopang beban mereka perlahan bengkok lalu patah, lapuk dimakan waktu. Kepercayaan yang terkhianati. Impian-impian terbang lepas dan meninggalkan mereka. Kerja keras mereka terbentur pada keterbatasan diri.
Mereka gusar. Haruskah mereka menyerah pada keterbatasan dan ketidakpastian?
Enigma...