MEMPOSISIKAN AL-QURAN DAN SAINS
Beberapa waktu lalu kita dihenyakkan oleh gempa 7,6 SR yang menimpa Padang. Seolah-olah alam ingin menyadarkan kita, "Kalian itu kecil!" Dan memang sudah seharusnya kita kembali mengintrospeksi diri kita; mengambil hikmah, sebagaimana yang diajarkan al-Quran melalui ayat-ayat azab.
Namun ada seorang ulama yang mengatakan bahwa peristiwa gempa di Sumatera Barat itu sudah tercantum di al-Quran. Beliau mengaitkan antara jam gempa dan nomor ayat di Quran. Gempa di Padang terjadi pukul 17:16 WIB, kemudian gempa lain menyusul pukul 17:58 WIB. Tanggal 1 Oktober, gempa menggoncang Jambi pukul 08:52 WIB. Jika kita buka al-Quran surat 17 ayat 16, surat 17 ayat 58, dan surat 8 ayat 52, niscaya akan kita dapati keterangan tentang azab. [dari suaramedia.com]
Persamaan nomor ayat dan jam itu memang benar. Angkanya sama. Namun masalahnya, apakah al-Quran boleh dan pantas 'diperlakukan' seperti itu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita membuka lagi satu kontroversi lain dalam ‘ulûm al-Qur'ân, yaitu tentang al-i‘jâz al-‘ilmî [segi i'jaz al-Quran yang bertalian dengan ilmu pengetahuan].
Al-Quran adalah kalamullah, sedang Allah Swt. Mahakuasa dan Maha Mengetahui [al-‘alîm]. Maka sebelum ‘ulûm al-Qur'ân terdefinisikan [seperti sekarang], para ulama berlomba-lomba menulis segala ilmu yang berkaitan dengan al-Quran. Topik pertama yang dituju adalah tafsir, dengan pertimbangan bahwa tafsir adalah tujuan mempelajari ‘ulûm al-Qur'ân. Selain tafsir, para ulama juga menulis ilmu-ilmu parsial yang mereka temui ketika menelaah al-Quran, seperti asbâb al-nuzûl, i‘râb al-Qur'ân, mubhamât al-Qur'ân, gharîb al-Qur'ân, dsb. Apalagi jika ‘ulûm al-hadîts digabungkan dalam ‘ulûm al-Qur'ân—sebab hadits adalah penjelas dan penyokong al-Quran—, pembahasan ‘ulûm al-Qur'ân akan jauh lebih luas.
Cabang-cabang pengetahuan itu tidak menutup kemungkinan akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Karena itu, kebesaran dan keagungan al-Quran, juga cakupan keilmuannya yang luas tak dapat disangkal lagi.
Nah, sekarang al-Quran juga menyinggung tentang alam semesta dalam ayat-ayat tertentu. Misalnya, surat Yasin ayat 36 membicarakan bahwa komponen dalam alam semesta diciptakan berpasangan, atau ayat lain yang membicarakan tentang orbit planet dan bulan. Bagaimanakah kita memposisikan ayat-ayat tersebut? Bagaimana kaitannya dengan sains modern?
Imam Zurqani menggarisbawahi bahwa ayat-ayat sains dan alam bukanlah objek utama dalam al-Quran. Karena ilmu akan selalu berkembang, sedang al-Quran sudah final. Teori ilmiah yang diyakini benar hari ini, belum tentu benar esok hari. Pendapat ini diiyakan oleh Manna' al-Qattan. Dengan mengutip pendapat Sayyid Quthb, Manna' al-Qattan mengatakan justifikasi sebuah penemuah ilmiah dengan ayat al-Quran beresiko sebagai berikut:
[1] Merendahkan al-Quran dengan memposisikannya sebagai pembenaran atas penemuan sains. Dengan kata lain, al-Quran berkedudukan sebagai pembantu [baca: di bawah] sains. Padahal [sekali lagi] sains masih akan terus berkembang, sedang ayat al-Quran tak akan diwahyukan lagi. [Dampak perlakuan ini dijelaskan di poin kedua]
[2] Konsekuensi buruk yang mungkin terjadi, setiap perubahan atas sains akan memaksa perubahan terhadap penafsiran al-Quran. Sedang perubahan penafsiran yang berulangkali terhadap kitab suci akan menjatuhkan kredibilitas kitab suci tersebut. Tengok saja bagaimana umat Kristen menuntut revolusi radikal terhadap konsep dasar kitab suci mereka, lantaran teori-teori ilmiah yang didukung oleh Bibel [dan otoritas gereja] runtuh.
[3] Memandang al-Quran dengan pandangan yang tidak tepat. Al-Quran mendorong manusia agar memfungsikan akalnya agar dapat mengolah bumi; memanfaatkan hasil-hasilnya; menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi, bukannya malah mengiyakan mitos. Dan 'mendorong' tidak berarti 'menjelaskan'.
Dengan kata lain, resiko paling fatal adalah jika teori sains—yang dijustifikasi oleh ayat al-Quran—ternyata salah. Jika kebenaran teori sains tersebut runtuh, runtuh pula kesucian al-Quran.
Namun di sisi lain, Imam Zurqani tidak menafikan bahwa al-Quran mengandung isyarat akan ilmu pengetahuan modern. Hanya saja isyarat tersebut masih bersifat sekilas dan global. Karena ayat tersebut pada dasarnya dimuat guna mengajak manusia berpikir, tafakkur dan tadabbur. Dari perenungan inilah, diharapkan manusia dapat mengetahui, Allah Swt.-lah yang menciptakan alam seisinya.
Untuk lebih jelasnya, Imam Zurqani menukil beberapa catatan dari syekh Abdu'l ‘Azîz Jâwîsy [dengan perubahan, pen]:
[1] Fungsi utama Al-Quran adalah sebagai kitab petunjuk. Walaupun al-Quran menyinggung sains, ekonomi, prinsip-prinsip sosial dan diungkapkan dengan bahasa sastra yang tak tertandingi, al-Quran tidak turun untuk menjelaskan semuanya secara rinci. Karena itu, al-Quran bukan buku sastra; al-Quran bukan buku pedoman sosial; al-Quran bukan catatan sejarah atau sains. Sekian banyak bidang tersebut hanyalah bagian dari al-Quran itu sendiri. Mengatakan al-Quran sebagai buku sastra atau buku hukum hanya akan mereduksi keagungan al-Quran. [lihat juga pembahasan mengenai kata 'Al-Quran' sebagai nama (al-‘alam)].
[2] Saat al-Quran turun, banyak penduduk Hijaz dan sekitarnya yang menyembah benda-benda langit dan makhluk lainnya. Ayat-ayat 'sains' diturunkan untuk menjelaskan bahwa semua itu hanyalah ciptaan Allah Swt.
[3] Ayat-ayat tersebut berfungsi memancing dan memotivasi manusia untuk memberdayakan akal-pikirannya. Hingga pada tingkatan tertentu, manusia akan mengakui kelemahan dirinya dan mengetahui siapa Tuhannya.
Dari beberapa poin di atas, bisa disimpulkan bahwa al-Quran memang memuat ayat yang 'berbau' sains. Namun tujuan ayat tersebut masih inheren dengan tujuan utama al-Quran, sebagai petunjuk. Selain itu, menurut hemat penulis, al-Quran dapat disertakan dalam sains yang tak diragukan lagi kebenarannya, seperti keberadaan bintang, adanya gunung. Sedang dalam teori yang [sedikit-banyak] masih bersifat spekulatif, sebaiknya al-Quran dijauhkan.
Lalu apa hubungannya dengan gempa tadi?
Temukan pembahasannya di tulisan bagian kedua ;)