Sebelum membahas cara mendidik jiwa dan menaklukkan nafsu dalam Ihya' Ulumiddin, al-Ghazali [semoga Allah merahmati beliau] terlebih dahulu memberikan penjelasan makna dari istilah hati (qalb), nafsu (nafs), ruh (ruh) dan akal ('aql). Pasalnya makna dari keempat istilah itu berdekatan dan kerap dicampuradukkan. Tepatnya, istilah-istilah tadi berhubungan dengan sisi tak terlihat dari manusia. Berbeda tentunya dari tangan, kaki, dan anggota fisik atau tubuh yang tampak oleh mata dan dapat dibedakan dengan jelas.
Qalbdalam bahasa Arab memiliki dua makna: secara fisik berarti jantung, sedangkan yang tak-kasat-mata berarti hati. Al-Ghazali menyatakan bahwa hati (qalb) merupakan alat berpikir dan tempat menerima pengetahuan, jadi lebih luas dari makna hati dalam pembicaraan sehari-hari yang hanya berkutat pada emosi dan perasaan. Sebab hati ibarat cermin yang menerima cahaya ilmu dan hikmah dari Allah. Tanpa hati tidak mungkin ada ilmu.
Hati juga alat untuk mengambil keputusan dan menjadi pusat bagi kehendak manusia. Karena memungkinkan manusia untuk berpikir dan bertindak berdasarkan kehendak (ikhtiyar), maka hati membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan.
Kata Ruh diserap dalam bahasa Indonesia, yaitu ruh, yang menyebabkan jasad dapat hidup. Al-Ghazali mengibaratkan jasad sebagai rumah dan ruh sebagai cahaya yang memenuhinya.
Nafs memiliki dua makna: manusia sebagai keseluruhan (jiwa), dan yang kedua, nafsu. Pengertian nafs sebagai nafsu digunakan oleh al-Ghazali dalam pembahasan Qalb dalam Ihya', tepatnya di bab 'Ajaib al-Qulub (Keajaiban Hati) sebab akan berkaitan dengan cara penyucian hati dan mendidik jiwa (riyadhat al-nafs) yang dibahas dalam bab selanjutnya.
'Aql atau yang diterjemahkan sebagai akal, dalam bahasa Arab dapat bermakna objek yang di-'aql-kan/dipikirkan (ilmu). 'Aql juga dapat bermakna subjek yang mengetahui. Dalam pengertian ini, 'aql merupakan padanan kata qalb. Yang berbeda, pengetahuan akal menjangkau hal-hal yang rasional saja, sedangkan pengetahuan hati mencakup pengetahuan yang disebut ilham.
Keempat istilah tersebut sebenarnya sebutan bagi satu hal yang sama, yaitu entitas tak-kasat-mata (lathifah) yang menjadikan jasad manusia hidup. Hanya saja, masing-masing istilah lebih menitikberatkan aspek tertentu dari lathifah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam definisi di atas.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bisshawab.
---
Disarikan dari Ihya' Ulumiddin karya Imam al-Ghazali bab 'Aja`ib al-Qalb.