Mendung

Aku selalu suka bila hari gelap. Sebenarnya juga tak harus gelap, hanya tidak terang. Mendung lebih identik dengan suasana yang muram dan bisu. Temaram menggantikan cerah cerianya sang surya. Tapi bulan-bulan ini matahari terlampau terik, membakar. Orang-orang menggerutu. Mereka merindukan keteduhan.

Apakah mendung itu pertanda buruk? Hujan, misalnya. Saat ini ia ditunggu-tunggu oleh ribuan petani. Sawah-sawah telah mengering. Bendungan sudah terkuras. Harapan mereka gantungkan tinggi-tinggi di langit. Mendung bagi mereka adalah janji yang hendak terwujud. Semakin gelap awan yang bergulung-gulung, wajah mereka semakin cerah.

Tapi bagi orang lain, hujan itu merepotkan. Jalanan jadi becek dan kotor. Mobil dan motor musti dicuci setelah kehujanan. Jas hujan dan payung wajib menyertai dalam perjalanan. Acara tak dapat digelar di ruang terbuka. Kalaupun bisa, terkadang tenda yang dipasang masih meneteskan air di sana sini.

Ah, tak harus orang lain yang mengeluhkan hujan. Mereka yang pertama mengharapkannya, bisa jadi berbalik memusuhinya di kemudian hari. Petani akan protes bila hujan turun terlalu banyak, merendam sawah mereka yang mulai berwarna keemasan.

Aku jadi teringat cerita tentang seorang bijak bernama Lukman. Lantaran kebijaksanaan dan kesalehannya, Lukman mendapat penghargaan yang luar biasa: namanya diabadikan dalam kitab suci Al-Quran. Raja yang didebat oleh Nabi Ibrahim AS tak pernah disebutkan namanya dalam al-Quran. Perempuan yang menggoda Nabi Yusuf AS juga tak tercantum namanya dalam al-Quran. Apalagi suaminya, seorang pembesar di Mesir, hanya figuran dalam kisah yang sama. Ratu negeri Saba’ yang disurati oleh Nabi Sulaiman AS juga tak dikenal namanya. Sementara kata ‘Luqman’ disebutkan dua kali dalam al-Quran. Padahal tutur Ibnu Katsir, penafsir ulung itu, Lukman hanyalah budak hitam yang berbibir tebal.

Ah ya, sekian dulu tentang Lukman. Kita kembali ke paragraf sebelumnya.

Suatu ketika Lukman berjalan kaki menuntun keledai, sementara putranya mengendarai keledai yang ia tuntun. Orang yang melihat keduanya berkomentar, anak Lukman tak tahu diri. Bagaimana bisa ia naik keledai sementara ayahnya berjalan kaki. Mendengar komentar tersebut, Lukman dan putranya sepakat untuk berganti posisi. Kini Lukman menaiki keledai, sedang anaknya berjalan kaki. Perjalanan pun berlanjut.

Tak lama kemudian, orang lain yang melihat keduanya menyeletuk, Lukman orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Lukman pun menyuruh putranya untuk naik ke punggung keledai. Walhasil, keledai itu ditumpangi dua orang.

Tidak punya belas kasihan terhadap binatang, demikian kata orang saat berpapasan dengan Lukman. Hewan ringkih seperti keledai dimuati oleh dua orang sekaligus.

Lukman dan putranya turun dari keledai, berjalan kaki bersama-sama. Melihat keledai kosong dengan dua pemiliknya yang berjalan menuntun, orang mengatai Lukman dan putranya dungu; punya keledai tapi tidak memanfaatkannya.

Pelajaran moral yang bisa diambil: belilah kuda agar dapat dinaiki bersama-sama tanpa dikomentari orang.

Just joking, canda doang...

Kemauan manusia tak pernah selesai, selalu berubah. Mustahil bagi manusia untuk disetujui oleh semua orang. Jangankan seorang Lukman, Tuhan pun kerap diprotes. Mengapa harus ada kejahatan di muka bumi ini? Mengapa harus ada kesedihan? Mengapa tak Engkau atur saja dunia ini tanpa bencana? Bukankah Engkau Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang?

Ada yang menjawab, ada hikmah di balik setiap kehendak Tuhan. Hanya saja, terkadang manusia belum mampu memahami kebijaksanaan ilahi. Belum tentu apa yang menyenangkan itu baik. Kesenangan dan kebaikan bukan satu hal yang sama. Keduanya berbeda, seperti perbedaan antara keinginan dan kebutuhan.

Ada pula yang berkata, sebenarnya baik-buruk suatu kejadian tergantung pada manusia yang memaknainya. Satu kejadian yang sama pun bisa jadi disikapi berbeda oleh orang yang sama, di waktu yang berbeda. Misalnya, petani yang disebutkan di awal tulisan.

Kalau kata Spinoza, manusia itu cerewet; terlalu banyak menuntut Tuhan agar mau menuruti keinginannya. Apa yang menurut manusia tidak menyenangkan harus dihapus, kalau tidak, mereka enggan mengakui-Nya.

Itu kalau kita mau berkutat dalam penyebutan baik-buruk.

Tapi terkadang perdebatan seperti itu tidak banyak manfaatnya di kehidupan praktis. Kalaupun memang hal itu buruk, apa nasib yang musti disesali? Kalaupun itu baik, haruskah tenggelam dalam euforia? Keputusan harus diambil, langkah tak boleh berhenti. Sebab waktu tak pernah menunggu.

Bila musibah menimpa, seberat apapun beban yang ditanggung, kaki harus melangkah meski tertatih. Tak seperti ruang yang memberi kebebasan bergerak, waktu hanya memberi satu pilihan: maju. Barangkali itulah yang disebut kesabaran.

Sama halnya bila mendapat anugerah, tak ada waktu untuk larut dalam keindahan yang akan segera menjadi bagian dari sejarah. Sudah semestinya anugerah diterjemahkan menjadi masa depan yang lebih baik, sebagai wujud syukur.

Dan tentang mendung yang kini menggantung di langit kota ini, aku tak peduli; apakah ia muram atau teduh. Aku menikmatinya, sebagaimana hari-hari yang telah lalu.