Seperti biasa, setiap Sabtu pagi Syeikh Hasan al-Syafi’i mengajarkan kitab Syarh al-Mawaqif karya al-Jurjani (w.816 H). Kitab ini termasuk kitab ilmu kalam dengan pembahasan yang mendalam, dan oleh karena itu tidak diperuntukkan bagi pemula. Di kitab itu pembahasan kalam mulai berpadu dengan filsafat. Tak heran bila dari lima mawaqif (bab) yang dibahas, soal ketuhanan hanya dibahas di mauqif terakhir. Empat mauqif yang mendahuluinya membahas ilmu-ilmu seperti logika dan ilmu alam (kosmologi). Susunan ini berbeda dari kitab ilmu kalam periode-periode awal yang mengerucutkan pembahasan pada tema ketuhanan, kenabian dan ghaibiyyat (hal-hal ghaib seperti surga-neraka, hari perhitungan, dan semacamnya).
Sebelum masuk ke pembahasan Syarh al-Mawaqif, Syeikh Hasan al-Syafi’i terlebih dahulu membahas kitab al-Syama’il al-Muhammadiyyah karya al-Tirmidzi. Isinya hadits-hadits tentang perilaku Nabi SAW sehari-hari yang dapat kita contoh, mulai dari bagaimana Rasulullah SAW menggunakan sandal sampai cara beliau berjalan. Usai menjelaskan teladan-teladan itu, barulah Syeikh Hasan menjabarkan dan mengurai detail persoalan kalam dengan piawai.
Di tangan Syeikh Hasan, ilmu kalam yang mengandalkan rasio menjadi tidak terasa “kering”. Ada nuansa yang menyejukkan saat pengajaran itu dilakukan di salah satu ruangan dalam masjid al-Azhar—biasa disebut ruwaq. Pengajian yang selalu didahului dengan mengenalkan pribadi Rasulullah SAW juga membuat murid-muridnya merasa damai. Apalagi para ulama memiliki aura yang berbeda. Entah, sulit memang untuk menggambarkannya dengan kata. Pertemuan langsung dengan mereka benar-benar menenangkan hati.
Aura itu, nuansa yang tercipta, serta suasana damai itu tak terlupakan. Selalu ada kerinduan yang membuncah setiap kali mendengar wejangan, komentar di televisi, atau menyimak video pengajian beliau. Tapi tak ada yang dapat menggantikan pertemuan langsung dengan para ulama.
Mereka adalah orang-orang yang berilmu sekaligus pribadi-pribadi yang menyucikan diri.
Kerinduan itu kembali menyeruak tatkala membaca pengantar Mulla Sadra dalam kitabnya al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah. Nama yang disebut terakhir tadi termasuk filsuf muslim terbesar yang hidup setelah Ibnu Rusyd. Gagasannya menggabungkan antara kalam, filsafat dan tasawuf. Baginya ketiga disiplin itu saling mengisi. Saat membuka kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah (Trancendental Philosophy) yang menjadi landasan rasional bagi filsafatnya, Mulla Sadra menasehatkan:
“Sebelum membaca kitab ini, mulailah dengan menyucikan dirimu dari hawa nafsu. ‘Beruntunglah sesiapa yang menyucikannya dan merugilah sesiapa yang menodainya’.* Dan mapankanlah terlebih dahulu pondasi keilmuan dan hikmah, baru kemudian sempurnakan bangunan di atasnya.”
Penyucian jiwa, sebagaimana yang dipraktekkan oleh para sufi, ditempuh melalui laku batin dan lahir; melewati tahapan-tahapan spiritual dengan amal; menaklukkan hawa nafsu dan mencapai jiwa yang tenang (al-nafs al-muthma’innah). Sisi amaliyah itu saling menyempurnakan dengan ilmu yang didapat melalui penalaran.
Dalam tradisi keilmuan Islam, jalinan harmonis antara teori-praktek, rasional-spiritual, gagasan-perilaku, adalah keniscayaan yang bersumber dari pokok ajaran Islam sendiri.
Wallahu a'lam bishawab.
*Mulla Sadra mengutip surat al-Syams ayat 8-9.