Di Balik Risalah Amman

Membaca Black Flags tulisan jurnalis Washington Post ini menarik. Sumbernya bukan melulu dari tautan/link di internet, tapi juga wawancara dengan tokoh-tokoh yang bersentuhan langsung dengan Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), mulai dari dokter penjara, para petinggi intelijen, duta besar, hingga kepala suku yang ada di Irak. Perjalanan ISIL pun diceritakan dengan berpangkal pada sosok Zarqawi yang dianggap sebagai pendiri ISIL, naik daunnya kelompok itu di Irak pasca Saddam, periode surutnya setelah Anbar Awakening, lalu menjalarnya Revolusi Arab (Arab Spring) ke Syria yang memberikan momentum baru bagi ISIL untuk bangkit.

Di tengah-tengah narasi yang sarat dengan sudut pandang politik dan krisis Timur Tengah, ada satu frasa yang di luar dugaan ternyata disebut dalam buku ini, meski cuma sekali. Pasalnya, frasa itu lebih sering disebutkan dalam perdebatan teologis ketimbang dikait-kaitkan dengan politik, dan selama ini jarang yang mengulas konteks kelahirannya. Padahal tak kurang dari 200 tokoh Islam berpengaruh dari 50 negara ikut andil, termasuk almarhum Syeikh Muhammad Sayyid Thantawy, Syeikh Ali Jum’ah, Syeikh Ahmad Kuftaro, Syeikh Abdullah bin Bayyah, Syeikh Yusuf al-Qaradawi, dan Habib Ali al-Jufri. Frasa itu adalah Risalah Amman, alias The Amman Message.

Di antara isi Risalah Amman adalah pengakuan terhadap delapan mazhab terkemuka sebagai bagian dari Islam, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, bersama dengan Ja’fariyah dan Zaidiyah (keduanya mazhab fikih Syiah), serta Ibadhiyah, dan Zhahiriyah. Poin lain adalah menolak pengkafiran terhadap kelompok yang mengakui keesaan Allah SWT, kenabian Rasulullah SAW, rukun iman, rukun Islam, atau pokok-pokok agama (al-ma’lum min al-din bi dharurah).
(Lengkapnya ada di laman resmi, bisa diakses di http://ammanmessage.com/en/conferencesandsymposia.html [bahasa Inggris] atau di http://ammanmessage.com/ar/conferencesandsymposia.html [bahasa Arab])

Risalah Amman dideklarasikan di Amman, ibukota Yordan, pada tahun 2005. Di saat yang sama, gejolak perang sipil bernuansa sektarian di Irak sedang menjadi-jadi. Menurut penulis buku, ISIL memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca jatuhnya Saddam Husein pada tahun 2003 untuk menciptakan kekacauan (chaos). Kalangan Syiah yang mengalami represi di rezim sebelumnya, mulai bangkit. ISIL kemudian meledakkan salah satu masjid tua di daerah Syiah, yang tak ayal memantik bentrokan berdarah antara kalangan Sunni dan Syiah di kota-kota lain. Dengan dibubarkannya militer Irak oleh Amerika Serikat (AS), praktis kontrol terhadap keamanan menjadi lemah. Ketidakstabilan keamanan ditambah dengan sentimen antar kelompok yang semakin tajam, menghambat upaya untuk membentuk pemerintahan baru. Dalam kekeruhan situasi tersebut, ISIL menemukan medium yang subur untuk berkembang.

Raja Abdullah II selaku pemimpin Yordan mengkhawatirkan konflik yang membara di Irak akan menjalar ke daerah yang bersebelahan dengannya, seperti Suriah dan Yordan sendiri. Saat Revolusi Arab (Arab Spring) bergulir, Yordan dapat mempertahankan keutuhan negara, tapi tidak halnya dengan Syria. Konflik yang berlarut antara rakyat dan penguasa akhirnya ‘ditumpangi’ ISIL untuk membuka lembar baru setelah Irak. Meski akhirnya Yordania memutuskan untuk turun tangan dalam operasi militer setelah pengeboman di sebuah hotel yang sedang dipadati oleh warga sipil yang menghadiri pesta pernikahan.

Sudah sejak awal Raja Abdullah II mewanti-wanti AS untuk tidak menyerang Irak. Ternyata dugaannya tepat. ISIL mendapat kekuatan dari reruntuhan rezim Saddam, berupa personel dan para punggawa militer. Tentunya selain sokongan dari Al-Qaeda, meski Al-Qaeda keberatan dengan cara yang digunakan oleh ISIL sebab dianggap terlampau ekstrim dan melanggar aturan peperangan dalam Islam, seperti membakar hidup-hidup seorang pilot AU Yordania dan menghancurkan jenazahnya. Ketidaksetujuan itu akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 2014, saat Al-Qaeda di bawah pimpinan Ayman al-Zawahiri memutuskan hubungan dengan ISIL.

Keprihatinan Raja Abdullah II dipicu oleh ancaman keamanan yang mungkin ditimbulkan oleh ISIL terhadap warga Yordania, juga cara-cara yang digunakan oleh ISIL yang tidak merepresentasikan nilai-nilai keislaman. Untuk mengantisipasi perang fisik, kekuatan militer dapat diturunkan. Masalahnya ISIL bukan hanya terwakili dalam jasad-jasad manusia, melainkan juga sebuah ide. Mereka juga melandaskan perbuatannya pada penafsiran mereka atas ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Untuk itulah diperlukan semacam klarifikasi, pelurusan opini, bahwa Islam sebenarnya tidak brutal seperti yang ditampilkan oleh ISIL. Dan karena itulah lahir Risalah Amman.

Jadi Risalah Amman bukan hanya himbauan terhadap dunia Islam secara umum agar tidak mudah menuduh sesama muslim sebagai kafir, atau agar umat Islam tidak mudah terjebak dalam konflik berlatarbelakang aliran. Lebih dari itu, dengan kehadiran 200 tokoh Islam yang otoritatif, Risalah Amman juga dapat dilihat sebagai upaya delegitimasi dasar-dasar teologis yang digunakan oleh ISIL untuk membenarkan ideologinya.

Wallahu a’lam bissawab.