Jauh dari kesan bahwa catatan harian adalah tempat curhat yang identik dengan perempuan dan hal-hal cengeng, ternyata banyak tokoh yang menulis catatan harian.
Di antaranya adalah Ahmad Wahib. Terlepas dari perdebatan soal pemikirannya, Catatan Harian Ahmad Wahib dicetak menjadi potret pergumulannya dengan rasionalitas dan ortodoksi agama. Gabriel Marcell, seorang filsuf eksistensialis, juga menuliskan perkembangan pemikiran filosofisnya dalam bentuk catatan harian, yang akhirnya diterbitkan dengan judul Being and Having. Peletak dasar psikologi analitis, Carl Gustav Jung, mencatat pengalaman psikologisnya dalam The Red Book yang kemudian menjadi salah satu sumber utama dalam menelusuri ide-idenya.
Secara garis besar, setiap orang memiliki buah pikiran dan emosi. Peristiwa, orang, ruang dan waktu memantik kilatan ide, yang bila tidak segera diikat dengan tulisan, akan lenyap. Waktu dialami secara linier; lurus dan satu arah, oleh karena itu, peristiwa yang sama tidak dapat diharapkan untuk terjadi lagi dan memicu gagasan yang sama.
Itulah sebab mengapa Shaidul Khathir ditulis oleh Ibnul Jauzi. Dalam pengantarnya, beliau bilang tidak ingin kehilangan ide-ide itu. Sementara judul buku itu sendiri, Shaidul Khatir, berarti berburu lintasan pikiran. Jadi wajar bila isinya berupa tulisan-tulisan singkat, lebih mirip dokumentasi buah pikiran yang berisi nasehat untuk dirinya sendiri.
Manfaat lain, menulis catatan harian memberikan kesempatan untuk merenungkan kembali isi pikiran beserta penalarannya; sesuatu yang--harus diakui--memang tidak sesuai dengan budaya pengguna internet yang serba instan, cepat, dan ringkas. Di zaman sosial media ini, semua dituntut serba cepat dan instan. Status yang tertulis di dinding laman Mukabuku (:D) sebenarnya juga berasal dari kilatan pikiran. Tapi tuntutan zaman memaksa untuk menuliskannya dalam bentuk yang singkat. Misal lain, pengguna dituntut untuk berkicau; memadatkan pikiran hanya dalam 140 huruf. Ide tidak lagi dipaparkan melalui refleksi yang mendalam. Padahal pikiran itu, bila mau, dapat dikembangkan.
Menulis catatan harian, menurut hemat saya, adalah salah satu cara untuk meredam kedangkalan semacam itu.
Yang ketiga (niru gaya diktat kuliah Azhar, tiba-tiba langsung poin ketiga), membaca tulisan yang berisi ide pribadi, memberi kesempatan untuk menilainya dari sudut pandang orang lain. Jadi semacam cermin. Dengan demikian pula, memberi kesempatan untuk mengenali diri sendiri lebih jauh.
Hal yang sama juga berlaku bila yang dituliskan adalah emosi. Selain sebagai ekspresi, tulisan tersebut juga dapat menjadi cermin yang membantu untuk menilai diri sendiri.
Lebih jauh lagi, dengan kebebasan yang ditawarkan oleh catatan harian (privasi) dan dengan kejujuran, akan terbuka kesempatan untuk menelusuri sebab-sebab yang, tanpa disadari, melatari tindakan atau respon kita terhadap situasi tertentu.
Pada mulanya, pikiran dan emosi bersifat abstrak. Tulisan dapat membantu untuk membuat keduanya lebih kongkrit. Sebab tulisan juga termasuk simbol.
Pikiran bawah sadar saya kira lebih abstrak lagi. Ia terendap dalam lapisan-lapisan kesadaran yang tak terukur dan tak terhitung secara fisik. Dan tulisan dapat menolong untuk menyelami kedalaman yang dasarnya tak diketahui itu, yang barangkali juga, gelap.
Di situ kita dapat menemui hal-hal yang tak terselesaikan di masa lampau, the unresolved past; hal-hal yang dengan susah payah ditekan, ditepikan, atau diabaikan. Saat itu tulisan dapat menjadi medan dialog dengan diri sendiri, memberikan pemahaman baru, sudut pandang lain, atau sekedar mendengarkan sisi diri yang selama ini dibungkam.
Atau peluang lain--agar tidak terjebak pada pesimisme--di kedalaman itu kita dapat mengetahui bahwa diri kita tidak seburuk yang dibayangkan. Ada sisi yang perlu dihargai dan ditumbuhkan.