Sejak pertama kali filsafat dikenal di dunia Islam, muncul berbagai kontroversi tentangnya. Tak tanggung-tanggung, Imam Syafi’i (150-205 H) mengatakan barangsiapa yang belajar Mantiq (yang dimaksud adalah Logika Formal Aristotelian) telah menjadi zindik.
Bila ditilik dari sejarah, persentuhan resmi umat Islam dengan ilmu-ilmu dari Yunani sudah dimulai sejak pertengahan abad kedua Hijriyah. Khalifah Ja’far al-Manshur dari Bani Abbasiyah (memerintah tahun 136-158 H) menitahkan penerjemahan buku-buku Yunani ke bahasa Arab. Ilmu yang diterjemahkan adalah filsafat, ilmu falak atau astronomi dan kedokteran.
Dapat dikatakan waktu tersebut masih tidak terpaut jauh dari wafatnya Rasulullah SAW. Imam Syafi’i yang hidup di abad itu masih tergolong generasi tabi'ut tabi’in. Selama itu mereka mengimani bahwa al-Quran dan hadits adalah petunjuk kehidupan. Lalu untuk apa berfilsafat?
Namun disukai ataupun tidak, ketegangan antara agama dan filsafat menjadi salah satu latar belakang perkembangan berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Misalnya munculnya aliran Muktazilah dan Asyariyah dalam ilmu Kalam. Keduanya berupaya untuk mempertahankan tauhid lewat argumen rasional, lebih tepatnya ‘meminjam’ beberapa bagian dari filsafat Yunani dengan disertai penyesuaian dengan ajaran tauhid. Pada periode berikutnya, ilmu Mantiq diintegrasikan ke dalam ilmu Ushul Fikih oleh Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa. Tema-tema yang pada asalnya adalah pembahasan Kalam tersisip dalam disiplin ilmu lain, seperti problem tahsin wa taqbih dalam Ushul Fikih.
Imam Ghazali yang dikenal di dunia filsafat dengan kritik tajamnya terhadap Ibnu Sina dalam Tahafut al-Falasifah ternyata tidak menggeneralisir bahwa semua filsafat itu buruk dan harus ditolak. Di zamannya ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang. Banyak yang masih berada di rahim filsafat. Seperti yang dikatakan Will Durant, filsafat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang mendarat di pantai, meretas daratan, lalu disusul oleh pasukan infanteri, yaitu ilmu pengetahuan. Ilmu kejiwaan atau psikologi masih dibahas melalui kategori-kategori jiwa ala Aristoteles, Plotinus, atau melalui perspektif sufistik. Ilmu ekonomi dan politik juga masih tercakup dalam filsafat.
Ilmu-ilmu tersebut tidak dikritik oleh Imam Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dhalal sebab tidak terkait secara langsung dengan agama. Ilmu alam (thabi’iyyat) yang menjadi cikal-bakal fisika, biologi, dll. dikritik dari sisi munculnya pemahaman bahwa alam ini kekal dan tak berawal. Selain bagian itu tidak bermasalah. Sedangkan yang secara terang-terangan ditolak adalah pembahasan filosofis mengenai ketuhanan lantaran banyak yang kesimpulannya bertentangan dengan wahyu.
Dari sikap Imam Ghazali dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat dapat diterima atau ditolak berdasarkan kesesuaiannya dengan ajaran Islam, dengan menguji kandungan perkaranya, sehingga tidak terjebak pada generalisasi buta.
Kesimpulan di atas menyiratkan bahwa filsafat ditundukkan di bawah agama. Suatu hal yang ditolak oleh para filsuf yang mengagungkan kebenaran rasio. Ibnu Rusyd kemudian mengkritik balik Imam Ghazali dalam Tahafut al-Tahafut dan menegaskan dalam Fashl al-Maqal bahwa kebenaran wahyu dan filsafat (Ibnu Rusyd menyebutnya al-hikmah) tidak mungkin bertentangan sebab kebenaran adalah tunggal berasal dari Allah SWT. Namun meskipun demikian, kekaguman Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles juga menyisakan tanda tanya, seperti pemahamannya terhadap mukjizat atau kesimpulannya tentang adanya kesatuan intelek.
Perdebatan antara wahyu dan filsafat di dunia Islam sebenarnya melibatkan jauh lebih banyak tokoh dan variasi pemikiran yang tak mungkin dijabarkan dalam tulisan singkat ini. Namun agaknya, menurut hemat saya, perdebatan tersebut secara garis besar dapat dipahami sebagai upaya untuk merumuskan hubungan yang tepat antara wahyu dan filsafat, serta menentukan porsi yang tepat bagi keduanya.
Berpegang pada filsafat saja akan terbentur pada keterbatasan rasio. Dan di sisi lain, al-Quran telah selesai diturunkan kepada Nabi terakhir, sedangkan umat Islam akan terus dihadapkan pada situasi baru.
Wallahu a’lam bis shawab.