Kafuka

“Dia kan digadang2kan Nobel sastra. Tp g dpt2 wkwk”

Itu jawaban yang aku dapat saat menanyakan Haruki Murakami. Di baris-baris sebelumnya ia mengatakan kalau Murakami lebih dekat ke sastra posmodern. Sastra posmodern? Makanan apa itu? o_0 Daripada memusingkan hal-hal seperti itu, aku memutuskan untuk langsung membaca novelnya saja, Dunia Kafka.

Tokohnya bernama Kafuka Tamura. Nama yang asing untuk orang Jepang. Kafka sendiri diambil dari nama seorang sastrawan; seorang Yahudi Jerman yang menulis kisah tentang Gregor Samsa yang saat bangun tidur berubah menjadi seekor serangga raksasa o_0 Aku baru sadar, ternyata sepenggal dari novel Kafka yang berjudul Metamorfosis itu pernah aku baca sebelumnya di preview Google Fonts (nggak nyambung, red).

Aneh memang. Beberapa novel yang pernah aku baca berusaha menggambarkan keadaan sosial seakurat mungkin. Real. Sebagian lain menceritakan tokoh yang sangat ideal, nyaris tanpa cela, meski masih berada dalam batas-batas kemungkinan yang dapat diterima akal sehat. Tapi Kafka dan Murakami berbeda. Kalau Kafka mengubah manusia menjadi serangga, Murakami menuliskan hal-hal aneh seperti kakek-kakek yang bisa bicara dengan kucing, atau hujan makarel dan lintah o_0 Di beberapa bagian, Murakami seakan-akan mengaburkan batas antara mimpi, imajinasi dan kenyataan. Semuanya serba mungkin sehingga alurnya menjadi sukar ditebak.

Kafka kabur dari rumahnya karena berusaha lari dari ‘ramalan’ ayahnya. Kutukan yang diilhami oleh kisah Oedipus Rex. Tokoh satunya lagi, Nakata, dikucilkan oleh keluarganya sebab dianggap ‘terbelakang’ secara mental. Yang menjadi persamaan antara keduanya adalah keterasingan. Nyaris setiap pemain utama dalam novel ini adalah seorang yang menjalani hidupnya sendirian, atau terasing sebab dirinya ‘berbeda’ dari orang pada umumnya. Entah karena sifat bawaan, kecelakaan, atau trauma.

Kafka dapat menikmati keterasingan tersebut, meski pada suatu titik, ia berpikir telah mengingkari dirinya sendiri. Sampai di penggalan itu aku tercenung. Kebebasan yang hanya dimaknai sebagai penyangkalan (negasi) akan melahirkan ketiadaan mutlak; kosong dan hampa. Kebebasan, mau tidak mau, juga harus bermakna positif: kebebasan untuk melakukan sesuatu. Tapi dengan itu pula, kebebasan telah mengambil bentuk, dan terdefinisikan.

Beberapa hal memang tak terdefinisikan di sini. Kafka yang begitu saja menentukan kota tujuannya, tanpa sebab dan alasan. Atau Nakata yang ingin menyeberangi jembatan untuk sampai ke tempat yang ia inginkan, tanpa tahu mengapa ia harus pergi ke sana, dan untuk apa. Jalani saja. Meski di beberapa tempat, ada yang mengisyaratkan tujuan. Tapi kesan secara umum, yang aku dapati, cukup pesimis dan ‘gelap’. Hidup tanpa tujuan agaknya seperti itu, sembari berusaha memaknai kematian.

Banyak yang belum dapat kupahami dari novel ini. Maklum, hanya seorang pembaca, bukan penikmat sastra. Tapi mungkin justru itu. Meski tidak paham isinya dan tak tahu untuk apa, novel ini harus dibaca sampai selesai. Absurd memang.