"Semakin banyak saya tahu, semakin terlihat bobroknya dunia ini," ujar pemuda itu di tengah-tengah obrolan kami. "Kebusukan yang terstruktur, saling bergantung, dan menjalar ke tempat-tempat tertinggi di dunia, yang kekuatannya tak pernah saya bayangkan sebelumnya."
"Dunia masih sama dengan zaman sebelum pengetahuan modern mengucapkan janji-janji kemajuan. Watak manusia tak pernah benar-benar berubah. Korporat yang hanya berhasrat pada keuntungan, sementara dengan pongahnya merasa lebih tinggi dari alam--pandangan yang diwariskan oleh masa kebangkitan--dan manusia dari kelas sosial lain. Kemudian penjajahan yang masih saja berlanjut, yang sekarang tidak harus diiringi dengan ledakan mesiu, namun lewat lembaran kertas berangka. Serta sistem yang terbangun agar hegemoni tetap langgeng."
"Itu yang saya pelajari. Saya merasa seperti bidak catur yang tak berdaya. Pengetahuan kadang menyakitkan."
Ia ingin melawan dunia. Waktu itu, batinku ingin menghiburnya bahwa apa yang ia lakukan nanti tidak sia-sia. Aku ingin berkata, "Setidaknya kita bisa mencegahnya dari keadaan yang lebih buruk." Atau menawarkan hal yang lebih masuk akal seperti, "Lebih fokus pada lingkungan di sekitar kita, dengan lebih mempedulikan orang-orang terdekat serta paling berharga." Tapi dua menit berlalu dan tak satu pun kata terucap dari mulutku.
Pemuda yang duduk di kursi sebelahku itu mengingatkanku pada angsa yang sedang bermigrasi, tapi terhenti di tengah perjalanan untuk berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Atau seperti pengelana yang dihantam keraguan. Apakah perjalanannya benar-benar berarti? Mampukah ia mewujudkan impiannya? Untuk pertanyaan semacam itu, ia harus mencari jawabannya sendiri.
Setidaknya Coelho benar. Sejak kecil kita didorong untuk bermimpi tentang masa depan. Entah sebagai insinyur, presiden, pilot, atau apa saja. Gantungkan cita-citamu setinggi langit, demikian kata mereka. Lalu begitu menginjak dewasa, kita belajar untuk menertawakan impian kita sendiri, seraya menyebutnya lugu, naif, atau lebih buruk lagi: mustahil.
Mungkin saat bertemu dengannya lagi, aku akan meminjamkan kisah Coelho tentang Santiago kepadanya, sebagai pesan, yang jika diungkapkan dengan bahasa lisan akan berbunyi:
"Jangan patah semangat."