Bulan ini umat Islam kembali memasuki masa ritual penyucian jiwa yang bersifat tahunan, yang bila terlaksana dengan sempurna, akan mengantarkan manusia kepada fitrahnya. Fitrah juga dapat diartikan saat manusia dapat mengenali kembali kedudukannya yang asali dalam alam sebagai khalifah dan hubungan antara dirinya dengan Tuhan, yaitu sebagai hamba. Lalu apa hubungan puasa yang mengajarkan pengendalian diri dengan fitrah?
Ibnu Sina, seorang filsuf muslim dan dokter legendaris di zamannya, membagi tingkatan jiwa menjadi tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa hewani, dan jiwa manusia. Tingkatan yang paling rendah adalah tumbuhan, lalu disusul hewan. Jiwa manusia menempati urutan tertinggi. Walaupun manusia, hewan dan tumbuhan mempunyai sifat dan derajat yang berbeda, ketiganya sama -sama memiliki dorongan untuk hidup dan berkembang biak, atau dorongan seksual, juga kebutuhan untuk makan dan minum.
Bila kemudian direnungi dan ditilik dari segi akhlak, selagi hidup manusia dikuasai dorongan untuk kebutuhan-kebutuhan dasar itu semata, ia masih belum dapat membedakan dirinya dengan tumbuhan dan hewan. Ia belum menjadi manusia yang sebenarnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Ghazali, teolog dan ulama multidisiplin yang digelari hujjatul Islam. Berangkat dari nilai-nilai yang diajarkan al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan-kecenderungan yang juga dimiliki oleh hewan. Ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan kecenderungan tersebut, akan menghempaskan manusia pada tingkatan hewan.
Keserakahan misalnya, adalah keinginan untuk memiliki yang tak terkontrol. Dalam keseharian, keserakahan dapat mewujud sebagai kecurangan dalam jual-beli ataupun pencurian. Atau bila dihubungkan dengan alam, keserakahan menampakkan dirinya sebagai eksploitasi atas alam tanpa tanggung jawab sebagai khalifah; orientasi pada profit tanpa mempertimbangkan kelangsungannya untuk generasi yang akan datang.
Lalu apa yang membedakan manusia dari makhluk hidup lain?
Ibnu Sina menyebutnya jiwa rasional, dengan akal sebagai alatnya. Keberadaan akal memungkinkan manusia untuk menimbang perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu wajar apabila manusia dibebani dengan aturan-aturan moral. Sementara Imam al-Ghazali menyatakan bila manusia dapat mengendalikan kecenderungan hewani dalam dirinya, ia mungkin mencapai derajat para malaikat, tentu seraya menetapi sifat-sifat kemanusiaannya. Sebab bagaimanapun juga, manusia harus makan dan minum, berbeda dari malaikat.
Namun pengendalian diri saja tidak cukup untuk mengantarkan kepada fitrah. Puasa dalam mazhab fikih mensyaratkan niat, yang bahkan oleh mazhab Syafi'i dianggap sebagai rukun. Niatlah yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi besar, antara wudhu dengan sekedar membasuh tangan dan kaki, juga antara diet dan puasa. Niat memberi makna baru pada pengendalian diri, bahwa ia dilakukan sebagai wujud pengakuan atas ketuhanan-Nya, sedang kepatuhan seorang hamba untuk berpuasa adalah bentuk kemauan untuk menundukkan ego diri di hadapan keagungan-Nya.
Dengan demikian, pengendalian diri yang diajarkan puasa menyelamatkan manusia dari tenggelam dalam sifat-sifat kebinatangannya. Tuhan telah menganugerahi manusia dengan posisi yang lebih istimewa. Di samping itu, sisi penghambaan dalam puasa mengingatkan manusia bahwa setinggi apapun derajat yang ia miliki di antara para makhluk, manusia tetaplah hamba-Nya, dan sudah sepatutnya menundukkan ego di hadapan perintah-Nya.
Wallahu a'lam bisshawab.