Suatu ketika, ane lagi duduk-duduk di depan syuun thalabah. Nungguin temen yang mau ngurus tahwil syubah. Sekitar jam setengah sebelasan, orang-orang keluar dari gedung kuliah. Hmm... sudah ganti jam, pikirku.
Seorang mesir bersama beberapa temannya duduk di sampingku, bercanda. Kemudian dia menyapa, biasa orang mesir, basa-basi dulu. Paling-paling bilang "enta andunisy ahlan nas". Basi. Tapi ane mencium gelagat aneh. Cara bicaranya sepertinya sengaja dipercepat. Kemudian dia bilang, "kamu kalo bisa dibiasakan bahasa Arab." Ane yang nggak terima balas bilang, "Arabiyyah zay eih?", Bahasa arab yang gimana? Mau fushah ato amiyah? Lama-lama omongan orang Mesir ini mulai ngelantur ke sana sini. Wah, ini sengaja mo ngerjain ajnaby yang nggak terlalu paham amiyah. Ane segera menyingkir sebelum tangan ini mengepal lebih keras. Dan mereka tertawa terbahak.
***
Kemarin...
Setelah nganterin Wasik, Faiq, sama Royyan berangkat haji, ane yang udah janjian ama Niam bareng ke daerah Madrasah. Kami naik tramco dari Bawwabah tiga. Di perjalanan, ane terlibat percakapan kecil dengan orang di sebelahku, Mesir juga. "Enta min ein?" Ane yang lagi kumat isengnya bilang, "Ana min bawwabah talatah" Orang mesir itu mulai tersenyum, "La, enta min ayyi balad?" Belum juga ane jawab, dia nambahi pake bahasa Inggris, "You come from what country?" Kali ini dengan lidah Arab yang kental, bahasa Inggris yang berat. "I forget", jawabku sambil nyengir. "Bit ul eih?" katanya penasaran. "I'm forget, ana nasiit" Kali ini setengah tramko tertawa. Kok ada orang lupa asalnya sendiri, barangkali begitu batin mereka. Aku senyum-senyum saja dalam hati, dasar orang lagi iseng jangan ditanyain, hehe.
"Laa, kallimni bas enta min ayyi balad. Maifsy musykilah." Akhirnya baru aku jawab, "Ana min andunisy". "Aaah, andunisy, enta ahlan nas" Nah lo, kumat mujamalahnya. Nggak mau kalah, aku balas, "Laa ah, enta elle ahla. Ana baheb Mashr". Suasana jadi cair. Akhirnya ammiyahnya keluar semua. Aku yang nggak bisa nangkep intinya bilang "Busy, kallimni syuwayya aw ala mahlak. Alysan ana musyfahim kitir" Kali ini temannya yang duduk di sebelah kiriku menimpali, panjang banget. Intinya dia bisa memahami bahwa orang-orang wafidin kebanyakan berbicara bahasa fushah lebih lancar daripada lughah syawari', istilah dia.
***
Saat mengantar haji kemaren, aku lihat orang-orang non-mesir tumpek blek di suq sayyarah. Dari Indonesia, Malaysia, Thailand (mungkin), sampe Afrika semua ada. Mulai yang berwajah melayu, china, sampe hitam coklat juga ada. Masing-masing bercanda, berwajah ceria. Sebelum berpisah dengan saudaranya, keluarga atau teman-temannya. Pandanganku tertuju pada seorang ibu yang sekiranya sedang mengantar anaknya (begitu perkiraanku). Keduanya sama-sama orang afrikanya. Mereka juga manusia, punya perasaan.
***
Saat masuk bawwabah taltah (begitu orang mesir bilang), aku lihat seorang ibu dengan tiga orang anaknya duduk di perempatan jalan. Berpakaian ala kadarnya. Kalau mau jujur dikit, agak kotor memang. Melihat seorang bertampang asia berjalan mendekat, sang ibu lantas menepuk pundak anaknya sambil memberi isyarat. Dengan sigap bocah enam tahunan itu menggamit bungkusan tisu lantas berlari dan menyodorkannya padaku. Tangan kanannya mengacungkan sebungkus tisu, sedang mulutnya mengulum telunjuk kirinya yang berdebu.
Tanpa terasa aku menatap matanya. Lugu, polos, penuh harap. Aku tak tahu mau berkata apa...
***
Seratus meter berikutnya, di pertigaan ujung jalan, bocah lain sedang menguntit seorang Malaysia sambil merengek agar mau membeli tisunya. Lima meter, ah nggak, limabelasan meterlah anak itu merayu-rayu seraya menyodorkan tisunya.
***
Apa yang ane tangkap dari peristiwa-peristiwa barusan, sebenarnya kita semua manusia. Cuman kita butuh saling pengertian. Apa yang terjadi, kenyataan di lapangan, kerap terjadi sekat-menyekat. Saya orang Indonesia, wa enta mashry. Orang Mesir punya kebiasaan ngaret, administrasi payah, nggak sabaran, sukanya basa-basi doang. Begitu kira-kira stigma yang terlanjur beredar di masisir. Dari cerita pertama, ane menduga kalo orang mesir sama-sama punya persepsi tentang orang Indonesia. Nggak percaya? Kalo ada orang mesir tanya "enta min ein?" Coba jawab Malayzi atau Thailandy, tanggapan mereka bakal berbeda.
Sepertinya persepsi negatif inilah yang menyekat komunikasi antara kedua belah pihak. Memang nggak bisa dipukul rata semua masisir punya masalah komunikasi dengan orang mesir, begitu pula sebaliknya. Tapi stigma negatif ini mau tak mau punya andil dalam memperburuk sikap satu sama lain. Di jawazat misalnya, kita sudah tahu orang Mesir memang punya kekurangan, tapi ketidaksabaran akibat berdiri berjam-jam pula yang mendorong kita untuk teriak atau mengomel di belakang. Padahal yang seperti ini nggak bakal merubah kelakuan orang Mesir tersebut. Malah menyemai bibit dan memperkuat stigma negatif tersebut.
Sebenarnya kita butuh saling memahami, kemauan salah satu pihak untuk berjiwa besar membuka diri untuk berkomunikasi dengan orang lain. Karena kita semua sama, kollena insaan...