DARI TAFSIR KE HIKMAH
Di posting sebelumnya, sudah kita bahas mengenai al-Quran dan sains [yang belum liat, baca dulu bagian pertamanya ya ^ ^ ]. Sekarang di tulisan ini akan kita bahas bagaimana hubungan antara jam gempa dan nomor ayat? Bisakah hubungan tersebut menjadi dasar bagi sebuah penafsiran? Masuk jenis tafsir apa?
Dari tulisan pertama, kita mengetahui bahwa sains akan selalu berkembang, dinamis. Gempa dan sains mempunyai karakter yang sama, keduanya akan terus ada dan berubah. Gempa adalah salah satu peristiwa alam, juga salah satu ayat kauniyyah [tanda kebesaran Allah Swt. di alam]. Dan gempa Padang bukan akhir dari rentetan gempa yang—telah, sedang [barangkali] dan bakal—menggoyang bumi.
Jika nomor ayat dikaitkan dengan jam gempa di Padang, maka akan muncul beberapa pertanyaan:
[1] Bagaimana halnya dengan gempa-gempa lain yang terjadi di jam yang sama, apakah ayat tersebut juga merujuk padanya?
[2] Bagaimana jika gempa terjadi jam 02:05 dini hari, sedang surat 2 ayat 5 tidak sedang membicarakan azab?
[3] Bagaimana halnya dengan ayat-ayat azab lain yang nomor ayatnya berkisar pada ratusan, apakah juga dapat dimaknai sebagai jam musibah?
[4] Apakah gempa-gempa susulan juga masuk dalam hitungan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menegaskan bahwa antara jam gempa dan nomor ayat tidak ada keterkaitan yang pasti. Karena itu sangat riskan apabila keduanya dihubung-hubungkan.
Kemungkinan lain, model penafsiran ini mungkin dibandingkan dengan kategori al-tafsîr al-isyârî al-‘ilmiy. Namun walaupun corak tafsir tersebut lebih bebas, tetap disyaratkan sebuah kepastian. Artinya, ayat tersebut memiliki penunjukan yang jelas bahwa arti yang dimaksud adalah gempa Padang. Namun keterkaitan pasti antara gempa dan nomor ayat—apalagi tafsir ayat—itu sendiri sangat meragukan. Sebagaimana ditunjukkan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Selain al-tafsîr al-isyârî al-‘ilmiy, pembahasan i‘jâz yang mungkin dibandingkan dengan kasus ini adalah pemberitaan al-Quran tentang peristiwa yang bakal terjadi di masa depan [anbâ' al-mustaqbal]. Misalnya di surat al-Rûm ayat 2-6, al-Quran membicarakan perang antara Romawi dan Persia, dan di surat al-Fath ayat 27, al-Quran mengabarkan peristiwa penaklukan kota Mekah [fathu Makkah].
Surat al-Rûm ayat 2-6 turun setelah kerajaan Romawi dikalahkan oleh kerajaan Persia. Di ayat 3-4, al-Quran mengabarkan Romawi akan menang atas Persia beberapa tahun lagi. Pada ayat selanjutnya, Allah Swt. menjanjikan kemenangan bagi umat Islam di waktu yang sama.
Ketika ayat tersebut turun, keberhasilan Romawi membalas kekalahannya masih menjadi misteri. Begitu pula kemenangan macam apa yang dijanjikan Allah Swt. kepada umat Islam. Namun waktu kemudian menyibak rencana Allah Swt. Romawi mengalahkan Persia, dan umat Islam memenangkan perang Badar Kubra. Allah Swt. menepati janji-Nya di al-Quran.
Sedang surat al-Fath ayat 27 menceritakan penaklukkan kota Mekah [fathu Makkah]. Ayat tersebut menguatkan mimpi Rasulullah Saw. [di ayat tersebut disebut al-ru'yâ al-haqq] bahwa umat Islam akan menundukkan Makkah dan memasukinya dengan aman. Mimpi itu akhirnya terwujud tak lama setelah Qurays mengkhianati perjanjian Hudaibiyah.
Jika kita perhatikan, kedua kabar tersebut [al-Rûm: 2-6, dan al-Fath: 27], selain dibuktikan oleh kenyataan, juga dikuatkan oleh asbâb al-nuzûl dan deskripsi yang relatif rinci. Asbâb al-nuzûl al-Rûm: 2-6 berkaitan dengan perang antara Romawi dan Persia, juga janji kemenangan muslimin. Kata "al-Rûm" (Romawi) disebutkan dalam ayat dengan jelas. Sedang al-Fath: 27 turun berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah dan peristiwa bai'at al-Ridlwân. Di situ kata Masjidil Haram juga disebutkan dengan jelas. Sedang pada 'ramalan' gempa Padang, tak ada asbâb al-nuzûl atau nash lain yang mendukung penafsiran ini.
Tafsiran ini, di samping terlalu dipaksakan [takalluf], juga tidak ada keterkaitan antara sisi bahasa ayat, asbâb al-nuzûl, i‘jâz dan interpretasi [al-dalâlah, penunjukan]. Lagipula tidak ada nash lain yang mendukung dari sunnah Rasulullah Saw. Selain itu, penafsiran ini juga tidak dapat dikategorikan sebagai al-tafsîr al-isyârî al-‘ilmiy, tidak mengungkap i‘jâz ‘ilmiy dan bukan kabar masa depan yang dimaksud al-Quran.
Karena itu, dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, —menurut hemat penulis dan tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap ulama yang menyatakannya—penafsiran al-Isrâ' ayat 16 dan 58, juga al-Anfâl ayat 52 dengan gempa Padang [hanya] lantaran persamaan jam dan nomor ayat, adalah lemah dan tidak tepat.
Sebagai solusi, alangkah baiknya bila gempa Padang dijadikan i'tibar saja. Bahan pelajaran bagi kita; peringatan; hikmah. Bukan diposisikan sebagai tafsir. Dengan demikian, ayat tersebut akan jauh lebih bermanfaat, tanpa berspekulasi mempertaruhkan al-Quran dengan resiko negatif.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebentuk 'ijtihad', hasil olah-pikir manusia yang bisa salah dan lupa. Tidak menutup kemungkinan adanya kritik dan masukan. Namun sampai muncul pendapat lain yang lebih argumentatif, penulis akan tetap memegang pendapat ini. Karena Islam tidak menganjurkan taklid buta.
Semoga bermanfaat!
Wa'lLâhu a‘lam bi al-shawâb...