Lanjutan tulisan sebelumnya mengenai kontroversi filsafat di dunia Islam.
Saat ini filsafat telah berkembang. Pembahasan metafisika yang menjadi akar pertentangannya dengan agama mulai ditinggal lantaran dianggap tidak relevan untuk dibahas. Filsafat analitik menyebutnya sebagai sesuatu yang tak bermakna. Karl Raimund Popper menolaknya sebab metafisika tak dapat difalsifikasi.
Satu per satu bagian dari filsafat mulai memisahkan diri dan merumuskan metode. Disiplin ilmu baru bermunculan. Tugas untuk meneliti alam diambil alih oleh fisika, astronomi. Tentang manusia secara fisik, biologi dan kedokteran menanganinya. Sedang soal kejiwaan dibicarakan dalam psikologi dan ilmu-ilmu yang serumpun. Stephen Hawking sampai mempertanyakan fungsi filsafat dalam bukunya The Brief History of Time: Apa yang tersisa bagi filsafat?
Franz-Magnis Suseno dalam Filsafat sebagai Ilmu Kritis mengetengahkan problem serupa. Ia menunjukkan adanya pergeseran tema-tema filsafat ke arah sosial. Filsafat kini berfungsi emansipatoris, sebagai kritik atas ketidakadilan dalam berbagai perwujudannya.
Dengan perkembangan terakhir ini, rasa-rasanya pertentangan antara filsafat dan agama lebih mudah ditengahi. Maksudnya perdebatan antara filsafat dan agama akan terus ada dan akan terus berlanjut hingga entah kapan. Tapi dengan adanya titik berat perhatian terhadap ranah sosial, agaknya filsafat dan agama lebih mudah dipertemukan. Ada prinsip-prinsip dasar yang mungkin disepakati, misalnya tentang keadilan.
Salah satu misi Islam hadir adalah untuk menegakkan keadilan. Perempuan mulai diberikan hak dalam harta waris, berbeda dari tradisi Quraisy jahiliyah (baca: pra-Islam). Islam mengecam pembunuhan bayi perempuan. Dan walaupun tidak secara langsung melarang perbudakan karena kuatnya tradisi Quraisy waktu itu, dalam fikih dapat ditemui perintah untuk membebaskan budak sebagai salah satu bentuk kafarat; tebusan atas pelanggaran hukum. Sebaliknya, sepengetahuan pribadi saya, tidak ditemukan perintah atau anjuran untuk memperbudak orang lain. Islam menyediakan pintu keluar dari perbudakan dan menutup pintu masuknya.
Hal lain yang menunjukkan adanya semangat egalitarian dalam Islam adalah pengakuan terhadap berbagai suku dan warna kulit sebagai manusia yang setara. Al-Quran menyatakan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal. Nabi SAW mencela orang yang merendahkan Bilal RA semata-mata karena warna kulitnya. Pembeda yang hakiki adalah derajat ketakwaan.
Contoh terakhir di sini adalah kepedulian Islam terhadap golongan yang tidak mampu secara finansial. Kewajiban untuk mengeluarkan zakat menegaskan hal itu. Surat al-Ma’un bahkan menisbatkan sebutan ‘Pendusta Agama’ kepada orang-orang yang bersikap kasar terhadap anak yatim serta tak mau berbagi dengan orang miskin. Keduanya adalah contoh dari golongan yang tidak mampu.
Namun harus diakui pula, perbedaan antara Islam dan filsafat tetaplah ada. Misalnya, keberpihakan Islam terhadap golongan yang lemah (dhu’afa) dan golongan yang sengaja dilemahkan oleh sistem (mustadh’afin) berorientasi untuk menghapuskan kezhaliman dan menegakkan keadilan. Jadi bukan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam memahaminya demikian.
Perbedaan lain adalah soal tujuan. Perubahan sosial yang didorong oleh Islam memiliki tujuan, arah, dan cita-cita yang digariskan oleh wahyu. Sebagaimana deklarasi Rasulullah SAW, misi pengutusan beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Sisi detail ketentuan moral atau akhlak ini yang masih menjadi perdebatan antara Islam dan filsafat. Katakanlah, apakah pembelaan Islam terhadap golongan yang lemah juga mencakup izin untuk melakukan pernikahan sesama jenis? Sebab dalam al-Quran terdapat kecaman bagi orang-orang yang melakukan hubungan sesama jenis.
Memang banyak pendapat yang muncul dan tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk menjawab hal tersebut. Akan tetapi, betapapun filsafat dan Islam berbeda, antara keduanya tetap ada bidang yang saling beririsan; tema atau isu yang dapat dibicarakan bersama, terutama di bidang sosial.
Wallahu a’lam bisshawab.