Masa depan adalah perkara ghaib. Tidak ada satupun manusia yang dapat mengetahuinya dengan pasti. Tidak pula prakiraan-prakiraan saintifik dengan asumsi determinisme mampu mencapai keniscayaan. Di balik batas itu, segala misteri adalah milik-Nya.
Pengetahuan kita menjadi keniscayaan setelah ia terjadi. Detik yang telah berlalu tak mungkin kembali. Batu yang telah diukir tak dapat dilebur lagi seperti tanah liat. Kala itu, kita baru paham apa itu takdir.
Dan batu-batu yang menyusun diri kita tidak mungkin dimusnahkan begitu saja. Itu sama saja halnya dengan menyangkal diri sendiri. Kita tidak mungkin lari dari diri kita sendiri.
Keberadaan kita tidak didefinisikan dengan fisik, tapi apa yang kita perbuat. Kehidupan adalah kumpulan peristiwa-peristiwa. Gerak, kata Iqbal. Apa yang telah kita perbuat, apa yang telah kita lalui, itulah yang membentuk diri kita saat ini. Itu yang mendefinisikan siapa kita, meski tidak mutlak.
Sebab manusia sebagai makhluk yang berkehendak selalu memiliki pilihan.
Kekinian adalah pilihan atas masa lalu demi masa depan. Masa depan akan terbangun bila kita telah tuntas menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang tercecer di waktu lampau. Bayang-bayang ketakutan, trauma, atau nyeri, menghalau kita dari mencari jawaban. Tapi selagi ia belum ditemukan, pertanyaan-pertanyaan itu akan terus memburu dan menghantui.
Ia mempertemukan kita dengan pertanyaan, bukan agar kita lari, tapi untuk menuntaskan jawabannya. Agar kita belajar memahami kebijaksanaan-Nya dan membesarkan jiwa kita.
* Inspired by Paulo Coelho, The Fifth Mountain.