Lanjutan dari bagian pertama.
Muhammad Imarah mempertanyakan kesiapan Syiah untuk rekonsiliasi. Jika benar Syiah menganggap Sunni sebagai saudara seiman, mengapa mereka begitu getol men-syiah-kan Sunni? Mengapa Syiah tidak memperlakukan Sunni sebagaimana Syeikh Mahmud Syaltut mengakui beberapa madzhab fikih Syiah? Atau dalam contoh yang lebih mutakhir, Piagam Amman yang memuat pengakuan lebih dari 500 ulama Islam dari seluruh penjuru dunia (termasuk Syeikh Sayyid Thantawi, Wahbah Zuhaily, Yusuf Qaradhawi, juga beberapa perwakilan dari Indonesia) terhadap mazhab fikih Zaidiyyah, Ja’fariyyah, Ibadhiyyah, dan Zhahiriyyah di samping empat mazhab sunnah.
Kondisi lain yang harus dipenuhi untuk rekonsiliasi adalah menjauhi perbuatan yang menyakiti pihak lain. Selama Syiah masih belum berhenti mencaci sahabat, harmoni antara kedua pihak tak akan tercapai. Bagi Qaradawi ataupun Muhammad Imarah, sikap Syiah tersebut mencerminkan bahwa mereka masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Kalaupun Syiah menganggap Abu Bakar ra., Umar ra., dan Utsman ra., telah merampas hak Ali ra. atas imamah, tak selayaknya Syiah mencaci mereka, namun tetap menghormati sebagaimana Sunni menghormati Ahlu Bait. Toh, cacian—yang sudah berlangsung berabad-abad—tidak menyelesaikan masalah sama sekali, kecuali memelihara sentimen terhadap golongan Sunni.
Akumulasi fenomena-fenomena di atas mengakibatkan pendirian Syiah dalam program rekonsiliasi terlihat ambigu. Ajakan rekonsiliasi dari pihak Syiah menjadi tidak efektif dan dicurigai sebagai bagian dari taqiyyah. Prinsip taqiyyah dipahami secara umum sebagai prinsip yang membolehkan Syiah untuk menyembunyikan akidah ataupun pendapatnya demi maslahat yang lebih besar, atau dalam bahasa lugas, berbohong. Prinsip ini bahkan juga boleh diterapkan atas saudaranya sesama muslim, atau dalam konteks tulisan ini, Sunni.
Namun dengan langsung menisbatkan kejadian-kejadian tersebut kepada taqiyyah agaknya terlalu tergesa-gesa. Sedang taqiyyah bukan hal yang mudah diketahui. Qaradawi sendiri mewanti-wanti agar tidak berburuksangka dengan melabeli perbuatan baik yang dilakukan Syiah sebagai taqiyyah. Namun berbaiksangka juga tak lebih dari prasangka, alias penafsiran terhadap fakta. Untuk membuktikan wacana rekonsiliasi sebagai taqiyyah dibutuhkan fakta yang menunjukkan dukungan pihak Syiah pro-rekonsiliasi terhadap upaya ekspansi Syiah di masyarakat Sunni.
Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kemungkinan terjadinya kerjasama antar negara-negara Sunni dan Syiah tidak hanya bergantung pada proyek rekonsiliasi saja. Hubungan bilateral antar umat Islam dengan umat lain saja mungkin dilaksanakan, apalagi dengan sesama umat Islam. Paling tidak, kerjasama yang berdiri atas asas pragmatisme. Toh, sebab kekerasan atas nama agama tak bisa direduksi dalam lingkaran perbedaan akidah saja. Lagipula generalisasi stigma buruk atas semua orang Syiah atau Sunni juga tidak valid.
Perbedaan pagar antara furu’ dan ushul dalam akidah, taqiyyah, bayang-bayang masa lalu, konflik berdarah, juga keengganan Syiah untuk melangkah dalam koridor rekonsiliasi, menghantarkan pendukung gagasan ini kepada “jalan buntu”. Tapi untuk memvonis proyek ini sebagai ‘gagal’ dan ‘utopis’ agaknya masih terlalu dini. Perbedaan yang cukup dalam dan berlangsung berabad-abad tak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Kalaupun ada yang ingin mempererat antar ahlul qiblah dalam artian mengurangi saling curiga dan mengikis fanatisme, mengapa tidak?