Bani Israel saat itu sedang mengalami masa-masa yang menentukan. Yusa’ bin Nun atau yang disebut dengan Joshua dalam Bibel, panglima yang secara heroik memimpin Bani Israel menaklukkan tanah Kan’an, telah mangkat. Mereka mengadu kepada nabi mereka, yang dalam al-Quran tidak disebut namanya, tapi oleh Ibnu Katsir dinamakan Samuel. Mereka ingin sang Nabi memohon kepada Allah agar menunjuk salah seorang dari mereka untuk memimpin Bani Israel. Awalnya Nabi Samuel menolak. Ia hafal perangai Bani Israel yang kerap mengingkari kata-kata mereka sendiri [2:246]. Namun akhirnya Nabi Samuel mengiyakan pinta mereka. Allah pun menunjuk seorang penggembala bernama Thalut sebagai raja baru Israel [2:247].
Perjalanan Thalut tidak mulus. Bani Israel menyangkal Thalut sebagai raja. Mereka tak rela dipimpin oleh orang miskin dan bukan keturunan bangsawan. Untuk membungkam Bani Israel, Allah mendatangkan Tabut yang telah sekian lama hilang sebagai bukti, bahwa Thalut adalah pilihan-Nya [2:248].
Dan kini, setelah menyatukan Bani Israel, Thalut harus menghadapi ancaman dari kerajaan Jalut. Berangkatlah Thalut memimpin ekspedisi militer yang pasukannya terdiri dari orang-orang beriman. Di tengah perjalanan, saat melintasi sungai, Allah menguji pasukan Bani Israel dengan sebuah perintah. Barangsiapa yang meminum dari air sungai itu bukanlah termasuk dari pasukan Thalut, kecuali mereka yang minum sekedar membasahi kerongkongan. Kebanyakan pasukan Bani Israel melanggar perintah tersebut. Hanya sebagian kecil yang mentaatinya.
Belum lagi mereka mendekati medan pertempuran, keraguan mulai menghinggapi benak mereka. Pasalnya, pasukan Jalut terlampau banyak bila dibandingkan dengan pasukan Bani Israel. Kekuatan yang amat tidak berimbang antara kedua belah pihak membuatnya tidak pantas disebut sebagai pertempuran. Secara matematis hasilnya sudah dapat ditebak. Ini bukan pertempuran, tapi bunuh diri.
Tapi mereka yang benar-benar beriman membantah. Sudah banyak contoh, pasukan yang lebih sedikit mengalahkan yang lebih besar dengan izin Allah. Mereka yakin, selama mereka bersama Allah, selalu ada peluang. [2:249] Maka saat mereka tiba di medan perang dan berhadap-hadapan dengan Jalut, mereka berdoa, “Wahai Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran dalam diri kami, teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami atas orang-orang kafir.” [2:250]
Allah mengabulkan doa mereka dengan memenangkan Bani Israel atas pasukan Jalut. Tak hanya itu, Allah juga memberikan karunia lain. Peperangan melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Dan kali ini, seorang gembala menumbangkan Jalut. Kelak, pemuda itu akan menggantikan Thalut dan mengawali masa-masa keemasan dalam sejarah Bani Israel; sebuah masa yang akan dirindukan dan dielu-elukan oleh setiap generasi Bani Israel hingga ribuan tahun kemudian. Anugerah itu adalah Daud [2:251].
Peperangan antara Thalut dan Jalut sebagaimana disampaikan oleh al-Quran memang tidak serinci dan selengkap buku-buku sejarah. Tapi itulah karakter al-Quran. Al-Quran tidak pernah memposisikan dirinya sebagai buku sejarah, melainkan kitab suci yang menjadi sumber petunjuk bagi kehidupan. Sehingga cerita yang tertera dalam al-Quran tidak diriwayatkan semata-mata untuk menyampaikan peristiwa itu sebagaimana adanya. Penggalan-penggalan sejarah disampaikan oleh al-Quran untuk diambil hikmahnya.
Menjelang peperangan, pasukan Thalut terbagi menjadi dua. Mereka yang tidak dapat menuntaskan ujian dari Tuhannya merasa gentar menghadapi tantangan di masa depan. Mereka pesimis sebab perhitungan mereka mengabarkan kekalahan. Karena yakin akan pikiran tersebut, mereka kalah, bahkan sebelum peperangan dimulai. Sementara orang-orang yang teguh menjaga keimanan mereka menunjukkan sikap yang bertolakbelakang. Perintah Allah mereka laksanakan dengan taat. Mereka yakin akan pertolongan Allah atas hamba-hamba-Nya. Dan bila Allah telah berkehendak, siapa yang mampu merintangi-Nya? Bagi kelompok kedua, peluang selalu terbuka.
Demi menjalankan perintah tersebut, mereka memohon agar dilimpahi kesabaran. Dalam konteks ini, kesabaran tidak dimaknai sebagai kesabaran yang pasif, seperti kesabaran saat menerima musibah. Bukan pula kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran untuk tidak melanggar perintah-Nya atau berbuat maksiat. Kesabaran dalam ayat ini adalah kesabaran jenis ketiga, yaitu kesabaran dalam melaksanakan perintah-Nya. Sehingga dapat dipahami bahwa sabar juga dapat menjadi sifat yang aktif, yang mendorong pada perbuatan.
Kemenangan yang dicapai oleh pasukan Thalut dimulai dengan keteguhan pasukannya untuk mentaati perintah Allah dan menahan diri dalam cobaan. Allah menguji orang-orang yang beriman [29:2-3]. Kesabaran untuk tidak melanggar perintah-Nya kemudian diikuti dengan kesabaran untuk menjalankan perintah-Nya. Pasukan Thalut melanjutkan perjalanan perang melawan Jalut meski mereka tahu jumlah kedua pasukan tidak berimbang. Sebab mereka yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang beriman. Jika pun mereka kalah dalam pertempuran, Allah telah menjanjikan surga. Orang yang ikhlas tak pernah merugi.
Dalam kehidupan sehari-hari, cerita tersebut dapat kita ambil sebagai sebuah teladan. Untuk mencapai keberhasilan, setidaknya diperlukan sikap sabar, dalam artian menahan diri dari godaan dan fokus terhadap apa yang seharusnya dikerjakan. Percaya terhadap kemampuan diri sendiri juga dibutuhkan, dapat juga dipahami, bahwa kemampuan diri kita merupakan ‘uluran tangan’ Tuhan. Terlepas dari perdebatan klasik, apakah manusia bebas memilih atau terikat, tidak ada yang menyangkal bahwa kuasa Allah mampu mengatasi segalanya. Sehingga sikap menggantungkan diri kepada-Nya baru benar-benar bermakna apabila kita melakukan sesuatu, bukan saat kita berpangku tangan.
Wallahu a’lam bish shawab.