Antara “Aku” dan “Saya”

Sepertinya tidak ada perbedaan jauh antara kata “saya” dan “aku”. Keduanya menunjuk hal yang sama, yaitu diri orang yang sedang berbicara. Tapi dua kata tadi amat jelas berbeda, bukan dalam arti, tapi cara penggunaannya. Aku tak tahu persis, sebab bahasa bukan bidangku. Di blog ini saja, ada posting yang memakai “aku” sebagai kata ganti orang pertama. Kadang-kadang dapat ditemui kata “saya”.

Yang aku pahami, kata “saya” digunakan untuk membicarakan diri sendiri di hadapan orang lain. Dengan kata lain, yang menjadi objek pembicaraan adalah diri sendiri. Cara berbicara yang demikian membuat orang yang berbicara terlihat lebih sopan. Sebab ia terlihat sedang merendah. Ia mendudukkan dirinya sendiri sebagai objek.

Kata “aku” berkesan lebih angkuh. Sebab dengan kata tersebut, pembicara mendudukkan dirinya bukan sebagai objek yang dibicarakan, melainkan sebagai subjek yang berbicara, sementara lawan bicaranya harus mendengarkan. Barangkali karena itu, kata “aku” lebih sering digunakan ketika berbicara dengan diri sendiri. Rasanya justru aneh bila kata “saya” yang digunakan untuk berbicara dengan diri sendiri. Seolah-olah ada jarak yang memisahkan antara pembicara dengan dirinya sendiri, padahal tidak ada tuntutan sosial yang mengharuskannya berlaku demikian.

Saat menggunakan kata “saya”, seolah-olah pembicara sedang mengemas dirinya dalam sebuah kesan, dan ia ingin lawan bicara menilainya lewat kesan itu. Kata “aku” lebih memungkinkan pembicara untuk membicarakan dirinya sendiri sebagaimana ia berbicara kepada dirinya sendiri, bukan saat ada orang lain yang akan menilai dirinya. Jadi lebih sedikit tekanan atas diri pembicara untuk menyesuaikan dengan harapan dari dunia luar. Sehingga kata “aku” juga terkesan lebih bebas.

Ketika ada orang yang menggunakan kata “saya” saat berbicara, berarti lawan bicaranya sedang berdiri di luar batas-batas kehidupan pribadi sang pembicara. Lawan bicaranya sedang didudukkan dalam dunia yang obyektif dan disuguhi fakta-fakta “remeh”. Bukan “remeh” karena tidak penting, tapi informasi tersebut dapat diberikan begitu saja kepada semua orang yang berada dalam lingkaran pergaulan terluar dari sang pembicara.

Sementara dunia obyektif di sini tidak merujuk pada alam di luar diri manusia dan sama sekali lepas dari keberadaannya, tapi mengisyaratkan pada hal-hal yang menjadi irisan antar dunia subyektif masing-masing individu, atau lebih tepatnya: dunia intersubyektif. Pembicara dapat berkomentar tentang warna merah dari selembar kelopak bunga kepada siapa saja yang dapat menyaksikannya.

Berbeda dari kata “saya” yang terkesan resmi dan superfisial, kata “aku” seolah-olah mengajak lawan bicara untuk menyelami sisi terdalam dari pribadi pembicara. Penggunaan kata “aku” berarti ajakan pembicara kepada lawan bicara untuk mengetahui pengalaman-pengalaman pribadi yang tak diungkapkan kecuali kepada mereka yang berada dalam lingkaran pergaulan terdekat. Informasi ini biasanya sangat berharga, terutama bagi pribadi pembicara. Pada mode ini, pembicara dapat meluapkan kepada orang lain makna selembar kelopak bunga tadi bagi dirinya. Selamat datang di dunia subyektif sang pembicara. Pada kesempatan lain, kata “aku” juga dapat digunakan untuk membongkar sekat yang—hingga saat itu—terbangun antara pembicara dan lawan bicaranya. Dengan demikian keduanya dapat berbicara dengan lebih leluasa, terbuka dan apa adanya.

Yang terakhir, jika kata “saya” menggambarkan gagasan yang telah dikemas oleh pembicara, maka kata “aku” membuka peluang bagi lawan bicara untuk secara langsung “menyentuh” gagasan di pikiran pembicara dalam bentuk yang paling mentah. Lawan bicara bahkan dapat mengikuti alur pemikiran pembicara selangkah demi selangkah, sehingga lebih mudah dipahami.

Barangkali yang perlu aku insyafi, tidak semua orang menggunakannya dengan cara yang aku tuliskan. Lagipula ini cuma persepsiku belaka. Ya, aku.