Rasi

Angkasa selalu mempesona di malam hari. Taburan bintang-bintang yang menyusun garis tengah bimasakti, the Milky Way, bulan yang malu-malu memantulkan sinar matahari, hingga tirai cahaya langit yang tak mungkin ditemui di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Aurora, meskipun aku baru dapat menyaksikan keindahannya lewat gambar, tampaknya akan sangat mengagumkan bila ia benar-benar terbentang di hadapan mata.

Langit malam menyajikan berbagai teka-teki, juga menawarkan kedamaian. Barangkali seperti yang mungkin dioleh para Badui, atau umat manusia sebelum mengenal televisi. Dan malam ini, seakan kembali mengulang kebiasaan orang-orang kuno itu, kami beristirahat sembari menatap langit.

“Kau lihat itu?” Jarinya menunjuk ke atas.

“Ya, kenapa?”

“Apa yang kau lihat?”

“Bintang?” Jawabku tak yakin. Tidak mungkin ia bertanya tentang hal yang sudah jelas.

“Bukan itu maksudku. APA yang sedang kau lihat?”

“Mmm, oke… Titik-titik putih.”

“Kau tahu itu. Tapi ada orang yang menyebutnya rasi.”

Aquarius, Aries, Taurus, Scorpion, Gemini, aku tak hafal. Aku juga pernah mendengar orang menyebut Salib Selatan, atau Gubuk Penceng. Setiap daerah punya istilah masing-masing, yang juga berarti, zaman dahulu di mana saja orang memperhatikan langit.

“Unik ya. Padahal bintang itu cuma berupa titik. Orang-orang dahulu bisa menarik garis yang menghubungkan titik-titik itu.”

“Ya, bukan itu saja. Orang-orang Mesir kuno menggunakan rasi untuk meramal kapan akan terjadi banjir besar. Lalu mereka akan mempersiapkan tumbal untuk menenangkan dewa. Ada pula yang percaya, rasi menunjukkan watak dan karakter seseorang, bahkan nasib. Bagi mereka, titik-titik itu amat berarti.”

Orang-orang Arab yang berkelana di gurun hingga para pelaut yang berpetualang di samudera bergantung pada bintang untuk mengetahui arah. Tepatnya sebelum besi ajaib bernama magnet digunakan secara luas. Kebutuhan akan memahami letak bintang mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan membacanya, menandainya dengan nama, atau mengaitkannya dengan takdir. Orang-orang pra-modern menganggap diri mereka bagian tak terpisahkan dari alam.

“Tapi kepercayaan semacam itu sudah tidak lagi dipegang oleh kebanyakan orang. Berhasilnya akal membangun teknologi telah menyingkirkan hal-hal yang tak mungkin dinalar.”

“Ya, kau benar. Agama pun ada yang menghapus kepercayaan semacam itu dan menganggapnya sebagai takhayul. Sebab Tuhanlah satu-satunya Dzat yang berkuasa menentukan segala sesuatu di bumi.”

“Agama? Misalnya?”

“Islam. Ilmu astronomi yang tadinya dipelajari dari Yunani kemudian dipisahkan dari astrologi; ramalan-ramalan.” Lalu ia buru-buru menandaskan, “Tapi bukan perkara itu yang ingin aku katakan. Ada pelajaran yang mungkin bisa diambil dari mereka.”

“Apa itu?”

“Orang sepertimu pasti tahu istilah kosmos atau semesta. Alam adalah semesta yang agung, tempat Tuhan menyisipkan ‘jejak-jejak’-Nya. Kata ‘alam’ sendiri diserap dari bahasa Arab yang berarti ‘tanda’. Pun jangan lupa bahwa ada semesta lain yang lebih kecil, namun tak kalah rumit dan misterius: manusia.”

Aku pernah menemui istilah itu. Alam sebagai semesta besar atau makrokosmos, sedangkan manusia adalah mikrokosmos. Dan keduanya sebagai kosmos adalah tanda. Orang-orang Arab menyebut semesta dengan kata ‘alam’, sebab bagi mereka seluruh isi semesta adalah tanda-tanda keberadaan-Nya. Tapi… “Jadi kau mau bilang kalau alam dan manusia itu sama? Kemudian bintang, titik, rasi? Aku tidak paham.”

“Aku cuma mengandaikan kita sebagai musafir malam, menapaki lautan pasir yang seolah tak bertepi, di bawah kubah langit. Bagi kita, bintang adalah perumpamaan paling tepat untuk petunjuk.”

“Ya, bintang sebagai petunjuk. Aku sudah mendengarnya berkali-kali. Rasul pun mengibaratkan sahabatnya sebagai bintang untuk generasi kita.”

“Kau benar. Tapi yang kumaksud, bintang itu sendiri adalah tanda. Ia sama sekali tak berarti tanpa manusia, bahkan terkadang manusia pun tak menyadarinya. Musafir bisa tersesat.”

Ia berhenti sejenak. Lalu sambil menoleh ia bertanya, “Bilakah sang musafir tersesat?”

“Jika bintang itu tidak ada.”

“Tepat. Atau jika bintang itu ‘lenyap’ meskipun ia ada.”

“Maksudmu?”

“Saat keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Misal, karena musafir itu tidak mampu membaca bintang.”

“Ah iya, bagi orang yang tidak terlatih, bintang hanyalah titik-titik putih yang tak bermakna. Mereka tidak menarik garis seperti rasi, atau bisa jadi membuat garis secara acak. Barangkali mereka juga tak mengenal nama-nama bintang.”

“Manusialah yang menafsirkan titik-titik itu,” ia menimpali. “Jika musafir itu kita, dan perjalanan sebagai metafora hidup ini, maka aku yakin dalam setiap kehidupan dan pengalaman pribadi masing-masing kita, terdapat bintang-bintang itu. Petunjuk, atau jejak-Nya.”

“Apa yang kau maksud adalah kitab suci dan utusan-utusan-Nya?”

“Bisa jadi, tapi mungkin juga lain. Ada kalanya kau merasa kalut, atau berprasangka bahwa Tuhan tidak pernah menuntunmu membuat pilihan-pilihan praktis, tentang situasi khusus yang kau hadapi, selain kaidah-kaidah umum yang tertera di kitab suci. Padahal Ia selalu ada dalam pengalaman pribadi kita, dan setiap kehidupan kita tak mungkin lepas dari-Nya.”

“Kitalah yang tak mampu membaca titik-titik itu.”

“Ya. Saat itu titik-titik putih itu tercerai-berai, tak satupun garis yang kita tarik mampu membuatnya dapat dimengerti. Atau barangkali yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila kita tak dapat melihatnya.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan jika momen itu tiba?”

“Kenali sebabnya. Bisa jadi ego kita bersinar terlalu terang, menyilaukan mata dari cahaya lembut bintang. Kita lebih suka mendengar suara-suara kita sendiri, sibuk dengan keinginan dan hasrat yang menggebu. Kita tak lagi menyisihkan waktu untuk menyimak apa yang hendak disampaikan oleh Tuhan. Bintang-bintang itu selalu ada, kawan, tersebar dalam detik-detik yang kita lalui. Hanya saja mata kita sedang buta. Kita menulikan diri dari bisikan-bisikan ilahi.”

Redupkan nyalamu.
Rendahkan dirimu di hadapan-Nya.
Hanyutkan jiwamu dalam damai.