"Ilusi Negara Islam" dalam Tanda Tanya

Sebenarnya ini bukan cerita baru, dan boleh jadi dibilang basi. Tapi daripada membusuk di hardisku, mending ditimbun di internet, barangkali bisa jadi pupuk kompos [bisa numbuhin pohon ilmu, hehe ^ ^]. Berikut ceritanya:

Pada hari Sabtu, 27 Juni 2009 lalu, kajian para mahasiswa S2 di Mesir [namanya al-Muntada] menggelar bedah buku "Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia" yang diterbitkan oleh yayasan Libforall atas kerjasama Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Ma'arif Institute. Buku yang diedit oleh Abdurrahman Wahid ini disebarkan via internet dengan cuma-cuma, namun dalam format PDF yang secured, tidak bisa diedit atau dikopi.

Yang menarik, buku tersebut memaparkan data-data penyerobotan para agen gerakan transnasional (dalam hal ini yang menjadi tertuduh PKS, HTI, MMI, DDII) terhadap aset-aset ormas moderat Islam (Muhammadiyah dan NU).

Dalam kacamataku sendiri, buku ini terbit dan berangkat dari satu cara pandang tersendiri. Ia bukan kajian lapangan an sich. Ada unsur subyektifitas yang amat kental tercermin dalam istilah-istilah yang digunakan. Islam transnasional, garis keras, radikal dan sebagainya.

Namun lupakan dulu pendapatku. Kita simak dulu, apa yang dibincangkan wakil masing-masing kelompok di forum al-Muntada:

***

Aku sampai di aula KSW [milik kekeluargaan Jawa Tengah] sekitar jam 6 sore. Acara dibuka oleh MC, ust. Ghazali, Lc., mentorku di kajian ekonomi Islam Pakeis. Kemudian disambut oleh Atdikbud, bapak Sangidu. Lalu Romli Syarqowi, aktivis NU yang juga alumni Gontor, masuk sebagai moderator bersama empat pembicara; Abdul Ghafur Maimun, MA., dari NU, Cecep Taufiqurrahman, S.Ag., dari Muhammadiyah, Iswan Kurnia Hasan, Lc., dari PKS dan Ahmad Fahrurrozi, SE., dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Perlu digarisbawahi, keempat pembicara tersebut memang bukan presentasi dari pandangan organisasi masing-masing, akan tetapi paling tidak diharapkan dapat memberikan gambaran tanggapan atau pandangan masing-masing organisasi terhadap buku ini.

Beberapa catatan dari dialog tersebut:
1. Buku ini mengalami masalah dalam tataran epistemologis. Penulis gagal mendefinisikan istilah-istilah sentral dalam buku, misal gerakan transnasional dan sebagainya. Padahal gerakan Islam sekularis dan liberalis, itu juga bisa dikatakan transnasional. Pendapat ini dilontarkan pertama oleh Iswan, kemudian diiyakan oleh mang Cecep dan Fahrurrozi.

2. Dalam metode, buku ini mengaku memakai metode kualitatif di Jogjakarta dan literatur di Jakarta. Namun kedua metode tersebut tidak mengungkap data dan angka. Lalu bagaimana bisa penulis buku ini menjabarkan sekian banyak data?

3. Beberapa peneliti yang disebutkan buku ini menyangkal itu hasil penelitian mereka. Pandangan ini disampaikan oleh Iswan. Mang Cecep juga mengiyakan, tapi beliau juga curiga, jangan-jangan ini hanya permainan. Sebab, jika seorang intelek merasa namanya dicatut atau data penelitiannya dimanipulasi, sudah sepatutnya mengajukan perkara tersebut ke meja hijau. Tapi kenyataan di lapangan, para peneliti tersebut lebih berkoar-koar di media (gak resmi?). Lain lagi dengan Gus Ghafur, beliau melihat jika seorang peneliti tidak dilibatkan dalam pengambilan konklusi, itu bukan masalah, asal hasil penelitiannya tersebut sudah diserahkan utuh. Masalah pengolahan data dan kesimpulan adalah hal yang berbeda.

4. Gus Ghafur memaparkan latar belakang gerakan tarbiyah secara singkat. Kaitannya dengan Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, Rasyid Ridha, juga gerakan Wahabi di Saudi.

5. Ust. Iswan dari PKS, menurutku lebih banyak menolak buku ini dengan berbagai kecacatan mendasar dalam metode penulisannya. Beliau juga menolak jika PKS dikatakan perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin (IM), PKS bukan bagian IM. Selain itu, beliau menyangkal perkawinan antara IM dan wahabi, sebab antara keduanya sendiri terdapat pertengkaran.

6. Lain halnya dengan ust. Cecep, mantan ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo ini setuju dengan beberapa kejanggalan di dalam metode penyusunan buku, tapi terlepas dari itu, beliau membenarkan data-data di buku yang berkaitan dengan Muhammadiyah. Semisal pengambilalihan amal usaha Muhammadiyah oleh orang-orang yang tak punya loyalitas terhadap persyarikatan, juga SK PP Muhammadiyah. Apa yang beliau dengar di Sidang Tanwir 2007 di Jogjakarta dari sebagian besar ketua-ketua cabang Muhammadiyah di Indonesia, juga PCIM London, semakin membenarkan isi buku Haedar Nashir "Manifestasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Sikap Muhammadiyah, Apa dan Bagaimana?".

7. Mang Cecep lantas kemudian mengajak untuk berdialog. Tidak untuk semakin memperkeruh suasana dan menggarami luka dengan membicarakan friksi-friksi yang terjadi. Organisasi Islam harus bersatu. Bukan saatnya lagi mempermasalahkan qunut, celana sematakaki, jenggot dan sebagainya. Di samping itu, beliau juga menghimbau agar setiap organisasi menghormati batas privasi organisasi lain.

8. Ust. Fahrurrozi dengan latar belakang ekonominya menjelaskan keunggulan Islam. Dan menanggapi buku sesuai dengan tanggapan resmi HTI.

***

Kalau para S2 sudah bicara, nggapriel sementara tiarap dulu [:D]. Satu yang nggapriel setuju, dalam membincangkan permasalahan antar-organisasi Islam, selayaknya persatuan pandangan dan rasa saling memahami yang dikedepankan. Sebab organisasi apapun itu [NU, Muhammadiyah, PKS, Persis dst.] hanyalah wasilah untuk meninggikan kalimat Allah [li i‘lâ'i kalimâti'lLâh], tak lebih.

Wa'lLâhu a‘lam bi al-shawâb.

* kalau sekiranya ada kekeliruan data, koreksi dan saran silahkan ditulis di komentar. Terima kasih ^ ^